RN- Pembangunan Light Rail Transit (LRT) fase 1B rute Velodrome-Manggarai diserang kiri kanan. Proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) dan digadang gadang jadi unggulan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono bisa digugat karena masalah.
Pengamat Kebijakan Publik, Amir Hamzah, menyoroti proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) fase 1B rute Velodrome-Manggarai, yang disinyalir menabrak sejumlah aturan.
Amir menjelaskan mekanisme pembangunan suatu proyek dari aspek administrasi pemerintahan, yang mana hal itu tidak dijalankan dalam proyek LRT Velodrome-Manggarai.
BERITA TERKAIT :"Kalau kita lihat dari aspek administrasi pemerintahan yang berkaitan dengan tata kelola keuangan daerah, maka ada ketentuan yang menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan itu disebut money follow function, artinya kalau ada fungsi-fungsi kegiatan program atau proyek maka harus ada dukungan dana. Tapi yang menjadi persoalan kemudian adalah untuk sesuatu itu masuk anggarannya di APBD maka perumusan kebijakannya itu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini kalau di daerah itu untuk 5 tahunan ada RPJMD, kemudian untuk tahunan ada RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), kemudian kalau dalam jangka sedang artinya di bawah 5 tahun itu ada yang disebut RPD (Rancangan Peraturan Daerah)," katanya.
"Nah, karena Pak Heru ini gubernur yang bukan hasil pilkada maka dia tidak bisa bikin RPJMD, karena dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah itu, seorang pejabat publik dalam bingkai otonomi daerah kalau dia tidak dipilih oleh rakyat maka dia tidak bisa bikin keputusan politik, dia hanya melaksanakan program yang ada yaitu yang ditinggalkan oleh Gubernur definitif yang dia ganti.
“ Misalnya Pak Anis selesai masa jabatannya, karena tidak ada Pilkada maka ditunjuklah Pak Heru sebagai pejabat Gubernur berarti dia gubernur yang tidak dipilih oleh publik. Maka dia juga punya kewenangan setengah terbatas, baik menyangkut keuangan daerah maupun penentuan kebijakan-kebijakan politik," Amir meneruskan.
Amir secara gamblang mempertanyakan dasar hukum proyek LRT Velodrome-Manggarai tersebut, sebab menurut dia pemerintah tidak bisa mengeluarkan anggaran tanpa dasar hukum yang jelas.
"Apakah kebijakan-kebijakan yang dia sodorkan sekarang ini termasuk pembangunan LRT velodrome-manggarai dengan anggaran sampai 5 triliun, itu dasar hukumnya apa? Karena kalau kita periksa di RPJMD nggak ada, di RKPD nggak ada, di RPD nggak ada, dan di rancangan perda tata ruang yang sekarang sedang dibahas itu pun tidak ada. Nah, apakah mau dilakukan manipulasi bahwa nanti di tengah perjalanan yang penting DPRD setuju dulu lalu di tengah jalan perencanaan pembangunan LRT dari Velodrome ke Manggarai ini disisipkan di rencana tata ruang yang ada. Nah bisa itu sebagai satu cara, tetapi ini kan permainan politik yang kotor. Karena kalau dimasukkan pun sebelum Perda itu berlaku nggak bisa didukung oleh dana. Jadi, jangan karena ada kepentingan politik lain yang tersembunyi sehingga itu dipaksakan tetapi dengan menyelahi aturan," ucap Amir.
Amir kemudian mengatakan bahwa merupakan kesalahan besar jika DPRD menyetujui anggaran proyek LRT Velodrome-Manggarai tersebut.
"Tetapi ada satu hal yang patut kita renungkan bersama-sama bahwa adalah satu kesalahan besar kalau perencanaan itu tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan, maka adalah satu kesalahan besar kalau DPRD menyetujui anggarannya karena itu sangat bertentangan dengan tata kelola pengelolaan APBD. Karena memang peraturan tentang pengelolaan APBD itu sebagaimana diisyaratkan dalam peraturan pemerintah nomor 12 tahun 2019, setiap program itu kalau mau didanai oleh APBD maka program itu harus punya payung hukum, misalnya Perda apa Perda RPJMD atau Perda apa gitu. Misalnya kita mau bangun rumah sakit karena ada udah undang-undang tentang kesehatan, ada Perda tentang kesehatan, ada peraturan pemerintah tentang kesehatan, kalau itu ada baru bisa dimasukkan anggarannya dalam APBD. Nah, oleh karena itu apabila DPRD menyetujui anggaran 5 triliun itu masuk dalam APBD untuk membiayai pembangunan LRT maka itu satu kesalahan besar," tutur Amir.
"Nah, bisa saja membuka peluang masyarakat bisa secara sendiri-sendiri atau bisa juga secara bersama-sama menggugat pejabat Gubernur dan DPRD, karena bisa itu merupakan penyalahgunaan wewenang. Artinya Gubernur bisa bersama-sama dengan DPRD bisa dianggap penyalahgunaan wewenang atau juga melakukan manipulasi APBD, dan manipulasi APBD bisa disebut sebagai salah satu tindak pidana, yang bisa dikategorikan sebagai upaya untuk melakukan korupsi. Nah, ini yang harus diwaspadai," tambahnya.
Untuk diketahui, berdasarkan telaah radarnonstop terhadap proyek LRT tersebut, tampak menabrak sejumlah aturan-aturan seperti tata ruang dan rencana pembangunan daerah.
Seperti pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Lalu, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2017-2022, dan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 25 Tahun 2022 Tentang Rencana Pembangunan Daerah Tahun 2023-2025.