RN - Mahkamah Konstitusi (MK) belum memberikan kepastian kapan keputusan sistem pemilihan umum (Pemilu). Alhasil, banyak caleg mulai dilanda setres.
"Udah setres ini karena saya kan nomor urut 3. Nah di dapil saya itu hanya satu kursi pada 2019," keluh politisi dari Gerindra yang akan maju sebagai caleg DPR RI dari Dapil Jakarta II kepada wartawan, Senin (12/6) malam.
Dapil Jakarta II meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara. Dapil yang dikenal neraka ini akan memperebutkan 8 kursi parlemen. "Kalau belum jelas susah kita gerak, nanti duit habis duluan," keluh bacaleg yang namanya enggan disebutkan.
BERITA TERKAIT :Aktivis Muda Jakarta (AMJ) Dwi Yudha Saputro menuding, MK lagi main kayu. Yudha menyatakan, kalau lambannya putusan MK saat ini merusak psikologi bacaleg. "Banyak yang setres itu caleg," ungkapnya.
AMJ kaya dia berharap MK memutuskan agar menggunakan sistem proporsional terbuka. Karena jika tertutup roda ekonomi di kelas bawah tidak berjalan. "Perputaran duit dari caleg ke rakyat itu besar, dan ini bisa mendongkrak UMKM dong," ujarnya.
Tidak jelasnya MK dalam memutuskan sistem pemilu menurut Yudha ada kesan permainan. "MK ini jadi banyak pertanyaan, mereka itu ngapain aja sih, apa nunggu perintah ya," sindirnya.
Seperti diberitakan, KPU sudah menetapkan jumlah kursi dan daerah pemilihan (dapil). Total kursi untuk DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota 17.510. Dari jumlah itu sehingga total keseluruhan 2.710 dapil dan 20.462 Kursi.
MK membantah menunda-nunda putusan gugatan tentang sistem pemilihan umum (Pemilu). Padahal putusan atas perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu akan menentukan arah sistem Pemilu.
Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu diajukan sejak November 2022. MK mengakui proses sidang perkara itu memang memakan waktu panjang untuk sampai ke tahap putusan.
"Kalau prosesnya lama, betul. Tetapi bukan berarti MK yang melakukan penundaan," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada wartawan, Senin (12/6/2023).
Fajar menyampaikan proses gugatan ini berlangsung lama karena dipengaruhi banyaknya para pihak yang terlibat di dalamnya. MK mesti menyimak pandangan para pihak secara komprehensif sebelum sampai pada kesimpulan.
"Karena panjang pendeknya satu perkara diselesaikan itu bukan hanya bergantung pada MK karena itu juga bergantung pada para pihaknya," ujar Fajar.
Fajar menyebut setidaknya ada 14 pihak terkait dalam gugatan tersebut. Mereka semua mengajukan diri untuk menyampaikan keterangan di dalam sidang. Permintaan itu lantas dikabulkan oleh MK.
"Jadi butuh waktu yang lama karena itu. Lama bukan dalam konteks MK menunda atau memperlambat proses penyelesaian tapi karena memang kebutuhan dan dinamika perkara itu," ujar Fajar.
Selanjutnya, Fajar menjelaskan gugatan ini mencapai tahap penyerahan kesimpulan pada 31 Mei. Setelah itu, MK menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk tiba pada putusan yang akan dibacakan pada Kamis pekan ini.
"Sekarang, hari ini sudah ditetapkan hari Kamis nanti pengucapan putusan. Jadi enggak ada penundaan-penundaan atau memperlama proses penyelesaian perkara," ujar Fajar.
Sebelumnya, gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks Wamenkumham Denny Indrayana menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.
Gugatan ini mendapat sorotan publik karena Denny membocorkan putusannya akan berupa proporsional tertutup. Padahal tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.
- Jumlah total kursi = 20.462
- Jumlah Dapil = 2.710
Kursi DPR = 580
- 84 Dapil
DPRD Provinsi = 2.372 kursi
- 301 Dapil
DPRD Kabupaten/Kota = 17.510 Kursi
- 2.325 Dapil