RN - Saat mendengar ungkapan pergi ke Tanah Suci, dapat dipastikan yang terlintas dalam benak kebanyakan orang adalah berangkat umrah atau ibadah haji ke Mekkah. Namun tidak demikian bagi warga di salah satu kampung di Ciamis, Jawa Barat.
Tepatnya di Kampung Kuta, Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di tempat ini, masyarakat masih memegang teguh tradisi para leluhur. Salah satunya tidak adanya tempat pemakaman umum.
Sesepuh Adat Kampung Kuta, Aki Warja mengatakan bahwa salah satu alasan tidak boleh ada kuburan adalah untuk menjaga alam. Menurutnya, dikubur tentu harus menggali tanah, dan itu berarti merusak alam.
BERITA TERKAIT :Bahkan, di kampung yang dikabarkan sudah ada sejak abad kedelapan sebelum masehi dan disebut-sebut sebagai tempat yang akan dijadikan pusat kerajaan Galuh ini, jika ada warga yang meninggal dunia, dikuburkannya di tempat lain yang jaraknya dua kilometer dari Kampung Kuta.
"Di sini tidak ada kuburan, makanya Kampung Kuta disebut sebagai tanah suci, karena terbebas dari jasad manusia," katanya kepada kontributor radarnonstop di Ciamis, Selasa (19/1/2021).
"Kalau ada warga yang meninggal, dikuburnya jauh, dua kilometer dari sini," sambungnya.
Selain tidak ada pemakaman umum, di tempat itu pun tidak ditemukan adanya sumur gali. Tentu, alasannya pun sama, untuk menjaga kelestarian alam di lokasi tersebut.
"Begitu pula di sini tidak ada sumur gali, karena memang dilarang atau pamali," ungkapnya.
Selain tidak ada kuburan, di kampung ini pun semua rumah harus berbentuk panggung dan berbahan alam. Jika dibuat dari tembok, berarti harus membuat pondasi dan itu akan merusak alam, karena ada tanah yang digali.
Kepatuhan warga Kampung Kuta dalam menjaga alam itu terlihat dari hutan larangan atau leuweung gede yang sampai sekarang masih lestari.
Aki Warja menceritakan, beberapa tahun lalu di kampung ini ada yang nekat membangun rumah berbahan semen. Mirisnya, hal itu dilakukan oleh sesepuh kampung.
"Berkali-kali diingatkan, tetapi tidak digubris, hingga akhirnya orang yang membangun rumah tembok itu meninggal dunia, menurut Aki itu teh dikutuk, sampai sekarang rumah tembok itu masih ada, tapi tinggal puingan," tuturnya.
Diketahui, Di Kampung Kuta ada 117 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 265 jiwa, termasuk balita. Semua rumah di sini, termasuk mushola, berbentuk panggung dan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti bambu dan rumbia atau injuk.