Jupri Nugroho
Penggiat Demokrasi Tangerang Selatan
Sejarah mencatat bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) pernah menjadi alat politik kekuasaan dan ini terjadi dalam kurun waktu lama, Dalam sejarahnya pemerintahan orde baru secara terbuka melakukan kooptasi dan mobilisasi politik yang antara lain diterapkan lewat tangan-tangan birokratisasi. Kooptasi ini juga menunjukkan ada kecenderungan terjadi proses mobilisasi politik. Rezim pada saat itu mengunakan organisasi yang mewadahi pegawai departemen, dan pemerintahan daerah untuk mendukung salah satu partai (Monoloyalitas) yang pada saat itu berkuasa, hampir dari seluruh organisasi buatan orde baru mulai dari level desa, pemuda, guru sampai organisasi sekolah diarahkan ke dalam satu partai. Pada tahapan ini intervensi secara langsung didapatkan jika menolak atau mencoba untuk tidak taat. Rezim pada saat itu berhasil melanggengkan kekuasaan mulai kejatuhan orde lama pada tahun 1966 sampai masuk gerbang reformasi 1997, setidaknya 6 kali pemilu kooptasi dan mobilisasi politik berhasil membuat 32 tahun berkuasa.
ASN Pasca Orde Baru
Pasca runtuhnya orde baru, netralitas ASN kembali menjadi sorotan bahkan pada tahun 2019 berdasarkan data pengawasan netralitas ASN tahun 2019 dan 2020 KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan Bawaslu mencatat terdapat 412 pengaduan yang diterima. Terdapat 528 ASN yang melanggar dimana 386 masuk dalam proses yang menjadi rekomendasi KASN. Kemudian Bawaslu menerima 351 pengaduan sampai tanggal 15 juni tahun 2020 dimana 243 pengaduan tersebut diterima KASN. Dominasi pelanggaran banyak dilakukan saat kampanye atau sosialisasi menggunakan media sosial dengan cara posting, komen, share, dan like antara rentang tahun 2019 hingga 2020.Sementara pada Pilkada 2020 terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN. Terdiri dari 484 kasus memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial. Sedangkan 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik. Kemudian, 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol. Sebanyak 110 kasus mendukung salah satu paslon, dan 70 kepala desa mendukung salah satu pasangan calon.
ASN “Kekuatan Politik”
Jika melihat dari data yang dihimpun dari (BKN) Badan Kepegawaian Negara mencatat, ada 3,99 juta pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia per 30 Juni 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 963.171 PNS berada di instansi pusat, sedangkan 3,03 juta PNS lainnya di instansi daerah. Tentu angka ini tidak sedikit ditambah dengan keluarga, menjadi incaran kekuatan politik baik partai maupun calon yang akan maju sebagai kepala daerah maupun calon legislatif.
ASN Dalam Pusaran Kekuasaan Politik
Selain itu juga tidak dipungkiri bahwa tekanan kepada ASN dalam setiap pemilu begitu besar, dimana jabatannya menjadi taruhan pada setiap momen politik. Ini bukan tanpa alasan bahwa pada faktanya kepala daerah diberikan kewenangan untuk memilih, menetapkan dan mengganti pejabat struktural yang akan membantunya dalam pemerintahan, serta hal tersebut didukung dengan aturan yang sah seperti pada pada UU ASN Pasal 53 yang menjelaskan tentang kewenangan pembinaan manajemen ASN oleh kepala daerah. Pada puncaknya adalah adanya perombakan di lingkungan jabatan struktural ketika kepala daerah baru terpilih, permasalahan ini menjadi semakin pelik ketika perombakan dilakukan tidak didasarkan pada kompetensi/kinerja melainkan lebih menekankan pada kedekatan politik. Padahal jika pemimpin berhasi menciptakan iklim etis dalam dinas sipil, hal itu memberikan pengaruh positif terhadap kinerja suatu organisasi. Akhirnya ASN lebih berorientasi membangun kedekatan politik dengan penguasa daripada membangun kompetensi dan kinerja untuk menjamin kariernya, Selain itu, bentuk tekanan terhadap PNS masih terjadi hingga pilkada 2017 berlangsung, tekanan dari para pemegang kekuasaan masih ada dalam bentuk tawaran jabatan, demosi dan juga mutasi dari para calon yang maju dalam pilkada tersebut. Tekanan ini sering terjadi dalam kasus pilkada karena mind set PNS yang takut jika tidak memenuhi tekanan politik itu karir dia akan terhambat atau bahkan berhenti.
Konskuensi Jabatan
Tentu hal tersebut bukan menjadi satu alasan unntuk membenarkan atas ketidaknetralan ASN pada setiap pemilu, karena ASN terikat oleh aturan yang mengikat hal ini sebagai konsekuensi atas pilihan dan jabatan , karena seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dimana aturan ini mengatur segala hal mengenai ASN agar memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, serta mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa, lalu apa kaitannya dengan netralitas. Dijelaskannya bahwa beberapa hukuman yang akan dijatuhkan bagi para pelanggar netralitas ASN. Hukuman tersebut disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, hukumannya bisa dalam bentuk disiplin berat, sedang, atau ringan tergantung hasil pemeriksaan.
Sikap Impartiality
Melihat beberapa data terkait kasus ketidaknetralan ASN, maka yang mesti digarisbawahi adalah pada sikap Impartialityatau ketidakberpihakan, dimana dimaknai sebagai prilaku adil, obyektif, tidak bias, bebas pengaruh, bebas intervensi, bebas dari konflik kepentingan, dan tidak berpihak pada siapapun,sebagai pihak yang memberikan pelayanan publik selayaknya ASN yang ditugaskan untuk melayani masyarakat secara profesional, maka ASN dituntut agar dapat bersikap netral dalam pelaksanaan pemilu, karena sejarah panjang pada era orde baru dimana ASN menjadi alat politik dengan kewajiban untuk mendukung partai politik tertentu, namun pasca runtuhnya orde baru dan masuk ke era reformasi saat ini justru ASN diarahkan oleh konstitusi dan undang-undang untuk kembali menjadi abdi negara yang profesional, berintegritas dan independen serta bebas dari intervensi politik.
Memaknai Netralitas
Sikap netral dari pengaruh politik yang dimiliki oleh ASN menjadi hal yang wajib ada dalam diri ASN. Sebagai aparatur pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, yang secara langsung dan berinteraksi dengan masyarakat. Netralitas terhadap politik harus dimiliki oleh ASN agar tidak terlibat menjadi anggota partai politik dan terhindar dari kepentingan-kepentingan politik yang mengarahkan ASN untuk dapat memobilisasi (massa)/masyarakat untuk memenuhi kepentingan politik tersebut.