RN - Empat saksi diselidiki Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel periode 2011.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana menuturkan, saksi yang diperiksa hari ini adalah MS selaku pensiunan anggota Tim Prakualifikasi, HW selaku general manager, AH direktur keuangan, NF selaku manager strategi pendanaan . Mereka merupakan saksi yang diperiksa usai penyidik meningkatkan proses hukum perkara tersebut dari penyelidikan ke penyidikan.
"Keterangan para saksi akan menambah alat bukti penyidik guna menetapkan tersangka di kasus itu," tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (22/3).
BERITA TERKAIT :Sebelumnya diberitakan, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) resmi menaikkan status dugaan korupsi pembangunan pabrik blast furnace complex (BFC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk menjadi penyidikan. Keputusan ini dilakukan seiring dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jampidsus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tertanggal 16 Maret.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, mengatakan, penyidik telah memeriksa 78 saksi dan tiga saksi ahli. Selain itu, terdapat bukti lainnya berupa 150 dokumen terkait pembangunan BFN Krakatau Steel.
Ketut menyampaikan, kasus ini bermula dari Krakatau Steel yang melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik pada 31 Maret 2021. Tender lantas dimenangkan Konsorsium MCC Ceri dan PT Krakatau Engineering.
Pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai export credit agency (ECA) dari China. Namun, ECA dalam pelaksanaannya tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena kinerja keuangan Krakatau Steel, yang dinilai dengan metode EBITDA, tak menuhi syarat.
"Selanjutnya, pihak PT KS mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB bank, dan LPEI," ucap Ketut.
Nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp6,9 triliun. Uang yang dibayarkan sebesar Rp5,3 triliun. Perinciannya, dari bank luar negeri senilai Rp3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun.
Namun, pada 19 Desember 2019 proses, pembangunan dihentikan. Alasannya, berdasarkan hasil uji coba operasi, biaya produksi lebih besar daripada harga baja di pasar. Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tak dapat beroperasi lagi atau mangkrak.
Padahal, Krakatau Steel membangun pabrik BFC dengan tujuan meningkatkan produksi baja nasional. Proyek itu dimulai dari 2011-2015 dan dilakukan beberapa kali addendum hingga 2019.
"Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar," jelas Ketut.
Atas dasar itu, tim penyidik menduga terjadi korupsi sebagaimana isi Pasal 2 jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.