RN - Impor beras ternyata bikin Perum Bulog tekor. Sebab, bunga utang yang harus ditanggung Bulog yakni Rp 282 miliar per bulan.
Belum lagi, ribuan ton beras impor yang kini ada di Perum Bulog terancam rusak. Hal ini dibeberkan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso.
Mantan Kabareskrim Mabes Polri yang biasa disapa Buwas ini mengakui, Bulog harus merogoh uang perusahaan untuk melunasi utang.
BERITA TERKAIT :"Beban Bulog untuk awal-awal, mau bayar utang kita setiap bulan harus membayar bunganya saja Rp282 miliar. Per bulan untuk bunga. Sekarang sudah saat membaik karena kita berupaya terus," ujar Buwas, Kamis (25/3/2021).
Tak hanya utang. Saat ini sisa beras impor pun menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Buwas mencatat, sisa beras impor masih sebanyak 300.000 ton. 106.000 ton diantaranya tidak berpotensi rusak dan sisanya tidak dapat digunakan lagi.
Sisa beras impor tersebut merupakan beras yang diperuntukkan bagi cadangan beras pemerintah (CBP). Hal itu, justru menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Bulog. Padahal, perkara itu bukan bagian dari tanggung jawab perusahaan pelat merah tersebut.
Melalui rapat koordinasi terbatas (rakortas), pemerintah telah membahas perihal sisa beras impor tersebut. Meski demikian, hingga saat ini belum ada keputusan finalnya.
"Sisa beras impor kurang lebih 300.000 ton, tidak ada potensi rusak itu 106.000 ton beras impor, kalau yang di dalam negeri aman. Sampai hari ini, waktu itu karotas membahas masalah sisa beras impor ini seperti apa dan harus bagaimana, tidak ada keputusan hingga hari ini. Semuanya dibebankan kepada Bulog, padahal ini cadangan beras pemerintah," kata dia.
Selain itu, ada sejumlah masalah yang dikaitkan dengan peran dan tugas Bulog sebagai lembaga pemerintah di sektor logistik. Perkara pengering gabah (dryer) di kalangan petani pun dikaitkan dengan Bulog. Buwas menegaskan, pengering gabah bukan menjadi tugas dari Bulog, tapi tanggung jawab dari Kementerian Pertanian (Kementan).
Dia mengakui, dryer menjadi akar permasalahan dari upaya penyerapan gabah dan beras yang dilakukan pemerintah. Karena, dalam proses pengering gabah, para petani masih menggunakan alat tradisional. Proses inilah yang menyebabkan beras petani tidak masuk dalam ketentuan untuk dibeli pemerintah.
Karenanya, dia berharap dryer dapat ditangani secara cepat oleh Kementan. "Sekarang ini kita sedang menyerap sekaligus, saya juga berharap dari kementerian pertanian bahwa yang dibutuhkan oleh teman-teman dan saudara-saudara kita petani adalah pengering . Karena ini bukan tanggung jawab kami," katanya.