RADAR NONSTOP - Kasus Djoko Tjandra terus bergulir. Walau sempat tertutup oleh isu lain tapi kasus yang menggunjang aparat hukum ini mulai terkuak.
Kabagkominter Divhubinter Polri Kombes Bartholomeus I Made Oka Putra Pramono mengaku pernah mendapat notifikasi dari Interpol terkait red notice Djoko Tjandra. Ia mengatakan notifikasi itu merupakan peringatan jika masa berlaku red notice Djoko hampir habis.
Hal itu disampaikan Made Oka Putra saat bersaksi di persidangan kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakpus, Kamis (18/11/2020). Duduk sebagai dalam sidang ini adalah Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi.
BERITA TERKAIT :Ia mengaku mendapat notifikasi itu pada tahun 2019. Notifikasi terkait red notice Djoko Tjandra itu dikirim oleh Interpol Lyon.
"Pernah (dapat informasi soal red notice Djoko Tjandra), saya waktunya tidak terlalu ingat kapan tapi kurang lebih 2019 dapat alert atau warning dari Lyon terkait itu. Berupa email atau bisa menyebutnya (jaringan) i2047 itu kita menyebutnya alert isinya informasi peringatan. Bentuknya notifikasi kalau semua dari Interpol itu notifikasi," ujar Made Oka Putra dalam persidangan.
Ia mengatakan notifikasi itu berupa informasi jika masa berlaku red notice Djoko Tjandra mau habis. Menurutnya, dalam notifikasi itu ada permintaan apakah red notice akan diperpanjang atau tidak.
"Bahwa masa kedaluwarsa red notice sudah mau habis karena hampir mendekati waktu habisnya. Sehingga dari Lyon menyampaikan mau diperpanjang atau tidak," sebutnya.
"Berarti masif aktif?" tanya jaksa.
"Pada saat itu belum habis karena peringatan dimunculkan menjelang habis red notice. Itu peringatan biasanya 3 bulan dan 6 bulan," jawabnya.
Kemudian jaksa menunjukkan barang bukti berupa kertas yang disita dari Made Okta. Jaksa meminta Made Okta menjelaskan isi dalam kertas tersebut.
"Bahwa memang dari NCB Jakarta menerima surat tersebut dari Lyon red notice Joko Soegiarto Tjandra akan berakhir enam bulan mendatang dan menanyakan apakah akan diperpanjang atau tidak," katanya.
"Ini berakhirnya kapan? Itu kan tanggal 10 Januari dengan saudara bilang hampir 6 bulan terakhir logikanya 10 Juni. Di situ tertulis review 10 Juni betul?" tanya jaksa.
"Iya tapi izin yang mulia mungkin berkaitan dengan surat ini penjelasan saya kurang jelas karena memang itu tugas pokok saya hanya terima dan saya salurkan ke TAUD, tata urusan dalam. Untuk surat ke TAUD ini saya tidak monitor lagi," tuturnya.
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra didakwa memberikan suap ke Irjen Napoleon sebanyak SGD 200 ribu dan USD 270 ribu. Bila dikurskan, SGD 200 ribu sekitar Rp 2,1 miliar, sedangkan USD 270 ribu sekitar Rp 3,9 miliar lebih, sehingga totalnya lebih dari Rp 6 miliar.
Lalu, Djoko Tjandra juga didakwa memberikan suap kepada Brigjen Prasetijo sebesar USD 150 ribu. Bila dikurskan, USD 150 ribu sekitar Rp 2,1 miliar.
Ada seorang lagi yang didakwa yaitu Tommy Sumardi yang disebut jaksa sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra ke kedua jenderal itu. Selain itu Tommy Sumardi juga disebut jaksa menerima uang dari Djoko Tjandra. Setidaknya ada 2 kali penerimaan uang dari Djoko Tjandra ke Tommy Sumardi. Total uang diterima Tommy Sumardi yaitu USD 150 ribu atau setara dengan Rp 2,1 miliar.