RADAR NONSTOP - Niat baik pemerintah merangsang industri pariwisata dengan subsidi tiket pesawat dinilai kurang efektif. Sebaiknya fokus tekan positivity rate Covid -19.
Begitu dikatakan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai, kebijakan subsidi harga tiket pesawat akan menjadi blunder pemerintah untuk kedua kalinya persis seperti awal Maret 2020 silam.
Saat itu, tanpa mempertimbangkan ancaman covid-19 yang mengintai Indonesia, pemerintah meminta sejumlah bandara memberlakukan diskon PSC untuk menyelamatkan sektor pariwisata yang kehilangan jutaan turis asal China.
BERITA TERKAIT :Angkasa Pura II, misalnya memangkas PSC sebesar 20 persen di 17 bandara mereka yang terkoneksi dengan destinasi utama pariwisata meliputi Batam, Bali, Yogyakarta, Labuan Bajo, Lombok, Malang, Manado, Danau Toba, Bintan, dan Belitung
Barulah ketika dua kasus pertama covid-19 diumumkan dan jumlah suspect corona bertambah pada pertengahan Maret, kebijakan tersebut ditunda dan disusul oleh Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebulan setelahnya.
"Waktu pertama diskon dulu itu kan enggak serta merta mereka bepergian. Kalau pun mau, ya, bisa enggak pariwisata dijamin aman. Kalau belajar dari kasus kemarin mungkin sekarang masyarakat berwisata juga akan memilih bawa kendaraan sendiri karena lebih mudah mengatur jarak aman," ucapnya.
Menurut Tauhid, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menekan kasus covid-19 dengan melakukan kebijakan testing, tracing, dan isolation, terutama di sejumlah wilayah yang kasusnya masih tinggi.
Sebab ia yakin, jika angka harian bisa ditekan dengan langkah-langkah tersebut, sektor pariwisata akan lekas pulih. Pasalnya masyarakat kelas menengah atas yang biasa bepergian menggunakan pesawat tak mempersoalkan harga tiket melainkan masalah keamanan.
Besarnya uang yang mereka endapkan di bank selama PSBB akan mengalir ke sektor pariwisata dan mendorong pergerakan ekonomi daerah lebih kencang. Dampaknya, lapangan pekerjaan kembali terbuka dan daya beli masyarakat akan berangsur membaik.
Bahkan, tak hanya turis domestik, jika Indonesia sudah relatif aman dan pariwisata bisa dibuka untuk turis asing, miliaran devisa akan segera mengalir ke dalam negeri.
Ia juga meyakini, China yang jadi penyumbang terbesar wisatawan mancanegara di Indonesia sudah masuk ke tahap pemulihan ekonomi siap untuk datang.
"Sekarang ini, di dunia, negara yang sudah mulai membaik ekonominya itu cuma China. Dia tumbuh 4,9 persen waktu negara-negara lain resesi. Mereka juga, saya yakin, kalau indonesia sudah lampu hijau, wisatawan sana akan kemari. Makanya, diturunkan dulu kasusnya," tutur Tauhid.
China sendiri menerapkan kebijakan serupa dengan Indonesia untuk menggerakkan sektor pariwisatanya. Obral diskon dilakukan pertengahan kuartal II 2020 dua bulan setelah penjualan tiket pesawat mencapai setengah dari yang biasa dicapai maskapai sebelum pandemi.
Bedanya, langkah tersebut dilakukan setelah mereka berhasil menangani covid-19 di Wuhan, yang jadi episentrum penyebaran virus di negara tersebut.
Masyarakat juga tak was-was untuk bepergian sebab penularan lokal covid-19 hampir nol dan pemerintahnya melakukan langkah-langkah pembatasan paling ketat di dunia.
Alhasil, pada Festival Pertengahan Musim Gugur China pada 1-8 Oktober, China mencatat lonjakan perjalanan domestik yang mengesankan.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China memprediksi 550 juta perjalanan domestik akan dilakukan pada kurun waktu tersebut. Sementara Ctrip, agen perjalanan online terbesar China, memperkirakan jumlahnya lebih dari 600 juta.
Prediksi itu tak berlebihan, sebab kementerian mencatat dalam empat hari pertama festival jumah perjalan domestik telah mencapai 425 juta dengan total pendapatan pariwisata 312 miliar yuan atau sekitar US$45,8 miliar.
Sebagai perbandingan, sebelum virus corona merebak di Wuhan akhir 2019 lalu, jumlah perjalanam domestik pada libur panjang nasional itu mencapai 782 juta dan menghasilkan pendapatan pariwisata hampir 650 miliar yuan atau sekitar US$95 miliar.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta Krishandi mengatakan, libur panjang akhir Oktober ini akan membuktikan apakah upaya pemerintah melonggarkan kegiatan ekonomi serta memberikan stimulus wisata akan berhasil atau sebaliknya.
Senada dengan Tauhid, ia menilai kasus covid-19 di Indonesia juga berpotensi kembali melonjak karena rendahnya kedisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan tempat pariwisata.
Ia berkaca pada libur panjang Agustus lalu ketika orang berbondong-bondong berwisata, meski kasus aktif covid-19 masih tinggi.
"Ini akan jadi long weekend, dan pemerintah sebenarnya sudah ingatkan jangan jadikan hari libur panjang ini untuk liburan. Karena akhir Agustus kemarin, ada long weekend dua kali, itu kan suddenly(tiba-tiba) naik kasusnya, makanya september di Jakarta melonjak dan PSBB ketat lagi karena alasan itu," terang dia.
Karena itulah, menurut Krishandi, Indonesia tak bisa menyamai China yang dapat memanfaatkan sektor pariwisatanya untuk menggerakan perekonomian di akhir tahun ini.
Satu-satunya yang bisa diandalkan sektor pariwisata, khususnya bisnis hotel dan restoran, saat masih berkisar pada kegiatan meeting terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah.
"November sampai Desember itu bulan di mana orang biasanya mengadakan rapat, training diklat, dan sebagainya. Jadi harusnya meeting bisa dijalankan mereka yang punya urusan ke kota besar. Di Jakarta misalnya efektifnya kan tinggal 2 bulan untuk cepat-cepat datang ke ibu kota, jadi harusnya dua bulan membaik okupansinya," tuturnya.
Ia juga tak yakin vaksin covid-19 yang diperkirakan tiba November mendatang akan membuat orang langsung pergi berwisata. Sebab, selain distribusinya akan diprioritaskan untuk para tenaga medis, keampuhan vaksin tersebut untuk memproteksi tubuh dari virus corona juga belum terbukti.
Kendati pun ada penambahan okupansi hotel karena penurunan harga tiket pesawat, menurut Krishandi, jumlah tersebut tak akan signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat rata-rata Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang pada Agustus lalu masih di angka 32,93 persen. Meski mengalami kenaikan sebesar 4,86 poin dibandingkan Juli 2020 posisi itu masih jauh di bawah Agustus 2019 yang sebesar 54,14 persen.
"Hotel kan rata-rata pertumbuhannya single digit, kalau pun naik ke dua digit paling di angka belasan occupancy-nya. Tapi kalau bisa dipertahankan pelonggaran di berbagai daerah, dan enggak ada lonjakan setelah libur panjang Oktober, sampai akhir tahun bisa 30-40 persen rata-rata occupancy-nya" tandasnya.