RADAR NONSTOP- Indonesian Police Watch (IPW) berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Komjen Firli Bahuri perlu mengusut kasus korupsi dalam pengadaan Helikopter SAR.
IPW menduga pengadaan Helikopter SAR tersebut diduga melibatkan oknum petinggi Badan SAR Nasional (Basarnas) dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang diduga merugikan negara sekitar Rp 130 miliar.
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane dalam siaran pers yang diterima Radarnonstop.co menyampaikan, bahwa KPK juga dinilai perlu mencermati sejumlah proyek pengadaan helikopter di Polri, TNI, dan lembaga negara lainnya.
BERITA TERKAIT :"IPW siap memberikan data-data dugaan korupsi helikopter SAR itu ke KPK. Dari penelusuran IPW, tahun 2015 Basarnas membeli dua Helikopter SAR dari PTDI, jenis Douphin AS365 buatan pabrikan Airbus, dengan anggaran Rp. 395.341.227.272,23 sudah termasuk tambahan satu engine sebagai sparepart cadangan," terang Neta S Pane seperti siaran pers yang diterima wartawan, Rabu (24/6/2020).
Lalu tahun 2017, sambung Neta, Basarnas kembali mengajukan anggaran ke Kemenkeu untuk pengadaan dua unit Helikopter SAR buatan Leonardo Helikopter jenis AW139.
Helikopter yang lebih besar kapasitas dan lebih tangguh kemampuannya dibandingkan dengan helikopter Douphin dari PTDI/Airbus.
"Pengajuan anggaran untuk dua helikopter AW139 itu sebesar Rp 529 miliar. Pengajuan anggaran ini sudah disetujui oleh Kemenkeu dan di masukan dalam DIPA Basaranas tahun 2018," kata Neta.
Namun, Neta menjelaskan, memasuki Tahun 2018, Kepala Basarnas M Syaogi berpikiran lain. Dengan anggaran Rp 529 miliar tersebut Kabasarnas inginnya membeli Helikopter Douphin lagi, tujuannya agar margin yang bisa diperoleh PTDI bisa lebih dengan besar.
Namun Sestama Basarnas selaku KPA pada saat itu, Dadang Arkuni, tidak setuju dengan pemikiran Kabasarnas. Sebab hal itu menyalahi administrasi, dimana pengajuan ke Kemenkeu sebesar Rp 529 miliar tersebut adalah karena memang untuk membeli helikopter AW139 buatan pabrikan Leonardo.
Jika saat pengajuan ke Kemenkeu untuk pembelian dua unit helikopter Douphin, tentu harganya tidak akan sebesar Rp 529 miliar, karena tahun 2015/2016 Basarnas baru membeli dua unit helikopter Douphin dengan harga Rp 395 miliar.
"Sehingga jikalau ada eskalasi harga selang satu tahun kenaikan maksimumnya sebesar 10 persen dari harga Rp 395 milyar, yakni maksimum Rp 430 milyar,"jelasnya.
Akibat hal ini, info yang diperoleh IPW, kata Neta, Kabasarnas akhirnya berseteru dengan Sestama. Pengadaan Helikopter inipun ditunda. Saat Sestama pensiun di bulan September 2018, proyek helikopter ini dijalankan lagi, meskipun masa jabatan Kabasarnas tinggal tiga bulan lagi.
Alhasil proyek helikopter Basarnas ini dikebut dan diatur sedemikian rupa. Pagu anggaran untuk pembelian helikopter AW139 dipakai untuk membeli helikopter Daophin buatan Airbus/PTDI.
"Anehnya, pembelian Douphin dengan harga yang begitu mahal, yakni sebesar Rp 523 milyar ternyata tidak termasuk tambahan engine sebagai cadangan, seperti kontrak sebelumnya,"sebut Neta.
Anehnya lagi, kata Neta, posisi PPK diambil alih dari PPK pengadaan Dophin di 2015 dari Anjar Sulistiono ke Hanafi (Direktur Sarpras) yang merupakan orang dekat Kabasarnas M Syaogi. Sementara Anjar Sulistiono dimutasikan ke Biak Papua.
Dari penelusuran IPW, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Basarnas ini ada selisih harga sekitar Rp 130 miliar lebih yang patut dipertanggung jawabkan.
Selain itu ada lima orang yang paling bertanggungjawab dalam kasus dugaan korupsi helikopter SAR tersebut. Dalam waktu dekat IPW akan menyerahkan data-datanya ke KPK.
"IPW juga berharap KPK mencermati sejumlah proyek pengadaan helikopter yang saat ini sedang berlangsung di Polri, TNI, dan lembaga negara lainnya agar uang negara tidak digerogoti para tikus koruptor. Sehingga keberadaan Komjen Firli sebagai perwira tinggi Polri di KPK benar-benar bisa mengamankan uang negara dari para pencoleng,"urainya.