RADAR NONSTOP - Satu tahun Anies Baswedan memimpin Jakarta yang akan jatuh pada 16 Oktober 2018 masih perlu pembenahan. Karena, banyak program unggulan pemprov tidak tepat sasaran.
Evaluasi ini disampaikan Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta dalam refleksi 1 tahun Anies. Dari hasil analisa, blusukan dan survei yang dilakukan PDIP, janji dan program Anies belum terpenuhi secara maksimal.
Sebut saja, program OK OCE, OK OTrip, Rumah Murah DP 0 Rupiah, Naturalisasi Sungai dan wacana becak yang akan beroperasi lagi di ibukota. Program unggulan ini ketika dikroscek ke bawah ternyata belum maksimal.
BERITA TERKAIT :Artinya, kampanye keberhasilan satu tahun Anies-Sandi memimpin ibukota masih jauh dari harapan. Anies bahkan terkesan grasa-grusu mengkampanyekan keberhasilan dalam memenuhi janji menjelang setahun memimpin.
Padahal, keberhasilan itu seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan menjelang ritual 100 hari, setahun maupun menjelang akhir masa jabatan. "Ini evaluasi agar Jakarta ke depan lebih baik dan rakyatnya sejahtera," terang Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi kepada Radar Nonstop, Sabtu (13/10/2018).
Evaluasi ini kata Om P sapaan akrab Prass bukan karena PDIP belum move on dalam pilkada. "Kami menjungjung tinggi demokrasi. Tapi, untuk kebaikan rakyat tentunya kami harus menjadi partai yang siap menyuarakan jeritan rakyat di bawah," terang Ketua DPRD DKI ini.
Target Tak Terpenuhi
Meme yang berdar di medsos terkait OK OCE.
Program One Kecamatan One Centre for Enterpreneurship (OK OCE) menjadi salah satu program unggulan janji kampanye Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Program ini bertujuan melahirkan 200 ribu pengusaha baru dengan 44 pos pengembangan kewirausahaan warga di kecamatan.
Di website resmi OK OCE, calon pengusaha baru yang sudah terdaftar sekitar 54.564 orang. Memang kalau dilihat secara jumlah, target 40 ribu sudah tercapai. Tapi, mereka belum bisa menjalankan usahanya karena belum mendapatkan izin usaha. Tak ada izin, tak dapat menjalankan usahanya.
Lalu, OK-OTrip dengan lebel program subsidi transportasi ini diluncurkan Anies sejak 14 Desember 2017. Namun sejak digagas hingga berganti nama menjadi Jak Lingko banyak kendala seperti minimnya peminat operator atau koperasi angkutan umum untuk bergabung.
Hal ini karena skema keuntungan yang tak jelas. Akibat hal itu juga hingga September 2018 jumlah armada yang bargabung baru 283 unit dengan melayani sebanyak 33 rute. Angka itu jauh dari target 2.000.
Fraksi PDIP DPRD mengapresiasi langkah rebranding nama OK Trip menjadi Jak Lingko sebagai gambaran konsep integerasi dengan berbagai moda yang dilakukan gubernur. Hanya saja, banyak kendala di lapangan yang belum diselesaikan.
"Inilah yang harus dikaji secara mendalam. Apa dampak-nya, lalu apa solusinya jika terjadi kendala. Karena jika terjadi kebocoran akan berdampak pada keuangan daerah," ungkap Om P.
Bagaimana Rumah Untuk Warga Miskin
Program DP 0 Rupiah yang sekarang bertransformasi menjadi SAMAWA jelas-jelas bukan untuk orang miskin karena hunian ini untuk warga berpenghasilan Rp4-7 juta perbulan. Minimum cicilan Rp2 juta perbulan. Tentunya ini diluar listrik dan air bersih.
Belum lagi Iuran Pengelolan Lingkungan karena status rusunami tidak memungkinkan diberikan subsidi. Kemudian, gubernur juga membatalkan pembangunan tiga rumah susun sewa. Yakni, Rusun Jalan Inspeksi BKT di Kelurahan Ujung Menteng sebesar Rp361 miliar, Rusun PIK Pulogadung sebesar Rp188 miliar, dan revitalisasi pembangunan Rusun Karang Anyar di Jakarta Pusat sebesar Rp162 miliar.
Anggaran Rp717 miliar dialihkan. Sebanyak Rp160 miliar akan dipakai untuk menalangi 20 persen uang muka rumah DP nol rupiah. Sisanya untuk pembiayaan kredit rumah murah dan pembebasan lahan.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Pemerintah Daerah Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. Kemudian, dalam ayat 2 diterangkan bahwa pendapatan daerah (dalam APBD) atau aset milik daerah tidak bisa dijadikan jaminan pinjaman.
Program ini sangat rawan menjadi temuan BPK karena berpotensi menimbulkan kerugian negara. Belum lagi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011 sebagai perubahan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang melarang Kepala daerah menganggarkan program melampaui masa jabatannya. Pengantian talangan oleh pemprov rencananya dicicil selama 20 tahun.
PDIP menilai, peluncuran program SAMAWA Jumat 12 Oktober lalu hanya seremoni untuk menghindari hujan kritik setahun kepemimpian Anies di Jakarta.
Naturalisasi Sungai & Ancaman Banjir
Ancaman banjir di Jakarta.
Di awal tahun 2018, Anies mengeluarkan wacana naturalisasi sungai yang diklaim lebih baik daripada normalisasi yang nyatanya sudah berhasil mengurangi jumlah titik rawan banjir di Ibukota. Pertanyaannya adalah apakah itu sudah diselaraskan dengan konsep penuntasan banjir di pemerintah pusat?
Karena setelah dicek sampai sekarang pemerintah pusat belum mengetahui detil mengenai naturalisasi yang digagas Anies. Disisi lain, hingga kini pemerintah pusat pun terpaksa harus memulangkan anggaran normalisasi sungai di Jakarta ke APBN karena tak adanya kepastian pembebasan lahan yang menjadi kewenangan pemprov.
Memasuki akhir tahun (Desember 2018) dengan potensi intensitas hujan yang tinggi tentunya akan membuat debit air tinggi.
Apa Anies sadar bahwa masih ada sebanyak 129 kelurahan rawan banjir di Jakarta. Letak kelurahan itu pun ada di sepanjang sungai yang belum tersentuh program normalisasi.
Nah, yang bikin heboh lagi adalah becak yang tak lagi layak di ibukota. Fraksi PDIP mrnilsi Anies tak sadar dengan wacana tersebut justru akan merendahkan martabat pengayuhnya.
Apakah Anies tak sadar dengan pengoperasian kembali becak di akan membuat kondisi lalu lintas di Jakarta semakin krodit. Fraksi PDIP menyesalkan dengan sikap gubernur yang melegalisasi becak secara diam-diam dengan pembuatan selter yang difasilitasi langsung kelurahan. Padahal, kita tahu bersama bahwa Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum masih berlaku sah dan belum ada revisi.
Sudah saatnya, gubernur memperbaiki kualitas hidup warganya. Tapi tidak dengan mengayuh becak. Kalau pun mau, buat pengoperasian becak seperti di negara-negara maju, ada di lokasi wisata dengan tarif tinggi dan membuat penumpangnya menambah gengsi.
Namun kalau pengoperasiannya sama saja, becak tetap kalah saing dengan moda transportasi modern, becak tetap lah becak yang berbahan bakar tenaga manusia, tarifnya murah, dan tidak mendapat subsidi pemerintah. Akhirnya, pengayuh becak tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.