RADAR NONSTOP - Suap izin memang gurih. Sederet kasus yang berhasil ditangkap tangan atau OTT KPK banyak terkait urusan izin.
Samapai saat ini ada sekitar 106 kepala daerah sudah terjerembab kasus suap izin. Kini mereka harus hidup dibui.
Nah, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun yang ke-107. Kasusnya salah satu kasus yang unik. Sebab, politisi Nasdem ini ternyata punya ruang rahasia.
BERITA TERKAIT :Ruang itu ada di lantai IV Kantor Pemprov Kepri. Diduga ruangan khsus itu untuk menerima tamu penting seperti pengusaha.
Kini ruangan itu sudah disegel KPK. Ruang rahasia berada di ruang kerja Gubernur Kepri. Di depan ruang kerja gubernur, hanya ada dua orang petugas Satpol PP.
Lift rahasia yang digunakan Nurdin, juga berada di dalam ruangan yang sudah disegel. Pintu keluar dan masuk lift tersebut berada di dekat parkiran kecil. Tak jauh dari depan Kantor Pemprov Kepri.
"Itu ruangan khusus untuk tamu gubernur. Ya, yang spesial lah," celetuk seorang PNS yang namanya takut ditulis kepada wartawan.
Bukan hanya disegel, ruangan gubernur juga digeledah. KPK membawa berkas yang diduga terkait izin reklamasi.
Komisioner KPK Basaria Panjaitan mengatakan, kasus Kepri adalah kepala daerah yang ke-107.
Selain Nurdin, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Budi Hartono juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan pihak swasta bernama Abu Bakar, oleh KPK juga ditetapkan sebagai tersangka sebagai pemberi suap.
Kasus ini bermula ketika Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPSK) Provinsi Kepulauan Riau untuk di bahas di Paripurna DPRD Kepulauan Riau.
Keberadaan perda ini akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan Pengelolaan wilayah kelautan Kepri. Terkait dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPSK) Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodir dalam RZW3K Prov. Kepri.
Pada Mei 2019, seseorang bernama Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resort dan kawasan Wisata seluas 10,2 Hektar. Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung.
"NBA, selaku Gubernur Kepulauan Riau kemudian memerintahkan BUH dan EDS untuk membantu ABK supaya izin yang dilakukan ABK segera disetujui," kata Basaria dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kuningan, Jaksel, Kamis (11/7).
Untuk mengakali hal tersebut, Budi Hartono menyuruh Abu Bakar agar menyebut akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya.
Setelah itu, Budi Hartono memerintahkan Edy Sofan untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin Abu Bakar segera disetujui.
"Dokumen dan data dukung yang dibuat Edy Sofan tidak berdasarkan analisis apapun. Yang bersangkutan hanya melakukan copy paste dari daerah lain," kata Basaria.
Pada 30 Mei 2019, Nurdin menerima sebesar Sing$ 5.000 dan Rp 45 juta. Kemudian esoknya, 31 Mei 2019 terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar untuk luas area sebesar 10,2 hektar. Menyusul pada 10 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar Sing$ 6.000 kepada Nurdin melalui Budi Hartono.
Ongkos Politik
Jika ingin memangkas suap dan gratifikasi para kepala daerah harus dari hulu. Biaya tinggi atau ongkos politik bisa saja menjadi pemicu para kepala daerah yang saat ini kena kasus di KPK.
Bayangkan untuk sekelas walikota atau bupati, seorang calon harus merogoh kocek hingga belasan miliar bahkan puluhan miliar.
Seorang tim sukses pasangan kepala daerah mengaku, ongkos politik sangat mahal. "Mau jadi lurah aja sampai ratusan juta. Apalagi kepala daerah," aku politisi Golkar yang namanya enggan disebutkan.
Menurutnya, saat menjadi tim sukses pilkada kabupaten di Jawa Barat, dirinya mengaku menghabiskan dana puluhan miliar. "Tapi kalah. Mau apalagi," tukasnya.
Ongkos politik yang tinggi kata dia, adalah pemicu adanya kepala daerah terima suap. "Puluhan miliar menjabat hanya lima tahun jadi bupati ya gak balik modal dong. Itu baru Pilkada bupati atau walikota, kalau gubenur bisa Anda bayangkan," bebernya.