RN – Proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di Kota Tangerang Selatan kembali menuai sorotan publik. Sejumlah keluhan bermunculan, mulai dari dugaan manipulasi dokumen hingga lemahnya sistem digital, yang membuat pelaksanaan seleksi dianggap belum sepenuhnya adil.
Plt. Kepala SMP Negeri 4 Tangsel, Kunardi, secara terbuka membeberkan sejumlah persoalan krusial yang muncul dalam pelaksanaan SPMB tahun ini. Salah satu yang paling disorot adalah lemahnya proses verifikasi pada jalur afirmasi.
“Sekolah hanya diberi kewenangan memverifikasi dokumen resmi seperti KIP, PIP, PKH, atau surat keterangan DTKS. Kami tidak bisa menilai kondisi ekonomi hanya dari tampilan atau pengakuan lisan. Semua harus berbasis data resmi,” ujarnya, Selasa (14/7/2025).
BERITA TERKAIT :Namun, menurutnya, realitas di lapangan menunjukkan banyaknya dokumen yang tidak valid digunakan oleh pendaftar. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) misalnya, kerap dijadikan alat untuk mengakses jalur afirmasi, meskipun keabsahannya diragukan.
“SKTM itu paling rawan manipulasi. Bahkan ada dokumen bantuan sosial yang ketika kami cek, barcodenya tidak terbaca. Setelah kami telusuri ke server pusat, ternyata datanya tidak ada,” terang Kunardi.
Ia juga mengungkapkan bahwa sekolah hanya melakukan verifikasi lapangan pada jalur domisili, bukan afirmasi. Untuk jalur domisili, pengecekan dilakukan melalui survei langsung ke rumah dan pemetaan digital guna memastikan jarak.
“Pada jalur afirmasi, kami hanya bisa melakukan klarifikasi jika ada kecurigaan. Tapi itu pun sangat terbatas karena waktu dan kewenangan kami tidak cukup,” tambahnya.
Salah satu kasus yang mencuat adalah perbedaan jarak dua siswa bersaudara yang tinggal di rumah yang sama, namun tercatat berbeda dalam sistem akibat kesalahan penempatan pin lokasi oleh pendaftar.
Selain itu, Kunardi menyoroti kekacauan data DTKS yang digunakan sistem. Menurutnya, sistem digital belum mampu mengurutkan pendaftar berdasarkan tingkat kesejahteraan secara akurat.
“Desil 1 sampai 5 itu masuk kategori keluarga miskin. Tapi justru banyak yang masuk ke desil atas yang lolos seleksi, sedangkan yang lebih membutuhkan malah tidak diterima,” jelasnya.
Ia menilai sistem SPMB yang dikembangkan oleh Diskominfo Tangsel masih perlu banyak perbaikan, khususnya dalam hal pemrosesan prioritas afirmasi.
“Saya harap sistemnya nanti bisa otomatis menyortir berdasarkan urutan prioritas: disabilitas, pemilik bantuan pendidikan seperti KIP/PKH, lalu DTKS. Jika datanya sama, baru nilai dari jarak,” ujarnya.
Masalah lain yang muncul adalah proses reset akun pendaftaran yang dinilai terlalu berbelit. Peserta yang ingin berpindah jalur setelah gagal, harus melewati beberapa instansi, mulai dari sekolah, Dinas Pendidikan, hingga Diskominfo.
“Ini sangat menyulitkan. Banyak siswa yang sebenarnya layak di jalur lain, tapi terhambat karena proses teknis yang rumit,” katanya.
Tahun ini, daya tampung sekolah negeri juga lebih ketat. SMPN 4 Tangsel, misalnya, hanya mendapat alokasi 10 rombongan belajar dengan maksimal 42 siswa per kelas, sesuai aturan sistem Dapodik.
“Dulu kami bisa menampung sampai 44 siswa per kelas. Sekarang tidak bisa, karena sistem otomatis menolak kelebihan data. Kalau dipaksa, status siswa jadi ilegal,” tegas Kunardi.
Namun demikian, siswa yang tidak lolos di SMPN 4 tetap akan diarahkan ke sekolah negeri lain yang masih memiliki kuota, seperti SMPN 9, 17, atau 18. Data siswa yang belum tertampung akan dikirim ke Dinas Pendidikan untuk penempatan ulang.
“Kami pastikan tidak ada anak yang tidak sekolah. Semua akan mendapat tempat,” imbuhnya.
Mengakhiri penjelasannya, Kunardi menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem SPMB agar ke depan lebih adil, transparan, dan tepat sasaran.
“Saya percaya sistem ini dibuat dengan niat baik, tapi implementasinya harus terus diperbaiki. Ini menyangkut hak dasar anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang layak,” pungkasnya.