RN -Pada akhir 2024, kabar tak sedap mengguncang Kota Bekasi menyusul tak tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari semula 90 persen menjadi 80 persen saja.
Melempemnya capaian dari target Rp 3,3 triliun menjadi Rp 2,8 triliun menjadikan PAD Kota Bekasi menyusut sekitar Rp 765 miliar.
Bila dikaji dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi sebesar Rp 279 triliun membuat Kota Bekasi sebagai kota terkaya se-Jawa Barat (Jabar) dan menjadi indikator melesatnya pertumbuhan ekonomi.
BERITA TERKAIT :Dari indikator tersebut, mengapa tidak mampu menaikkan capaian PAD di Kota Bekasi?apakah ada kebocoran?
Menyikapi hal tersebut, Ketua Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim) Mulyadi menyoroti kegagalan capain target PAD di Kota Bekasi.
Ia menuding banyak terjadi kebocoran di berbagai sumber misalnya, tak pastinya besaran nomor objek pajak (NOP) seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Daerah untuk hotel dan restoran serta cakupan lain.
Dari informasi digali, Mulyadi menduga Bapenda Kota Bekasi tak memiliki data jumlah kamar hotel se-Kota Bekasi termasuk jumlah meja restoran sebagai potensi pajak.
“Jumlah hotel mereka punya, tapi kamar saya duga tak punya belum lagi kamar jenis The Lux dan Sweet. Begitu juga dengan jumlah meja restoran. Terus bagaimana bisa maksimal,” katanya Kamis (26/6/2025) pagi.
Kelemahan lain terlihat dari minimnya pengawasan serta sanksi di pajak restoran.
Sistem tapping box sebagai rekam pengelolaan pencatatan transaksi restoran sebagai bukti karena di setiap pelanggan ramai pada Sabtu dan Minggu sistem tersebut cenderung dicopot.
Kuat dugaan lemahnya pengawasan menjadi kesengajaan agar kongkalikong antara petugas dan pengusaha terjadi.
Bukankah menjadi rahasia umum mendapati gaya hidup mewah para pegawai Bapenda?
Sumber kebocoran lain menurut Mulyadi diduga dari pajak reklame milik mantan pejabat yang tak ditagih. Besarannya signifikan sehingga berpotensi merugikan PAD.
Pemuda asal Banten ini juga mengkritisi perihal masih manualnya sistem Bapenda di tengah trend digitalisasi.
Kondisi demikian menyebabkan biaya operasional tinggi, kurangnya transparansi, sulitnya pelaporan dan cenderung tak efisien. “Belum dihitung lambannya proses serta rentan kesalahan data,” tudingnya.
Hal lain mencakup kemungkinan disparitas BPHTB yang menyebabkan penghindaran pajak, karena pelaporan harga dalam akta jual beli tidak sesuai dengan harga sebenarnya. “Selisih harga pasar siapa yang menikmati,” tanya pemuda penyuka rujak ini.
Terbaru temuan BPK Jabar 2024 perihal piutang PBB-P2 pada sesmiop tidak mutakhir sebesar Rp1,58 miliar lebih.
BPK merekomendasikan Wali Kota Solo Bekasi mengkooordinasikan, memantau dan mengendalikan pelaksanaan di bidang pelaporan dan sistem khusus dalam penata usahaan piutang PBB-P2.
Dugaan kebocoran di atas—tambah Mulyadi—menjadi kepastian mengingat Bapenda tak mencapai targetnya serta temuan BPK membuktikan gagalnya Kepala Bapenda menjalankan tanggung jawabnya pada urusan keuangan Pemerintah Kota Bekasi.
Untuk itu, pemuda pengagum Machiavelli ini mendesak Wali Kota Bekasi Tri Adhianto mengevaluasi dinas bersangkutan secara keseluruhan. “Harus ada sanksi kepada mereka,” tegasnya.