RN - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diminta jangan menunggu bola. PPATK harus menyita dana hasil transaksi judi online (judol).
Diduga duit judol mengalir ke sejumlah bank, layanan E-wallet dan operator seluler. Diketahui, transaksi judol saat ini mencapai puluhan triliun.
"Berdasarkan Undang undang No 8 Tahun 2010 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengambil pendapatan dari transaksi Judol di lembaga pembayaran yang diduga menjadi media pembayaran Judol," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Aboebakar Alhabsy.
BERITA TERKAIT :Menurutnya, kinerja PPATK selama ini sudah sangat baik dalam membantu pemerintah dalam membongkar aliran transaksi dana judol.
“Komisi III DPR siap membantu PPATK untuk membekukan semua dana transaksi judol yang mengalir ke lembaga keuangan gital,” tegas Sekjen DPP PKS ini.
Jika PPATK tidak bisa mengambil uang dari transaksi Judol di bank, operator seluler, kata Habib sapaan bekennya, Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
"Isi Perppu adalah adalah menambah kewenangan PPATK, agar bisa mengambil dana transaksi Judol di lembaga sistem pembayaran resmi, seperti bank, aplikasi e-wallet atau operator seluler," terang Ustaz Aboe Bakar.
Dengan pemberian kewenangan PPATK itu, kata dia, akan mempercepat pemberantasan Judol yang sampai saat ini, belum mampu diatasi. Karena sistem pembayaran tidak bisa offline dengan alasan akan merugikan nasabah lain yang bukan pelaku Judol
"Adanya penarikan dana-dana itu akan memberikan efek jera kepada lembaga penyedia sistem pembayaran yang selama ini terkoneksi dengan merchant Judol," terangnya.
Di mana, bank, layanan e-wallet serta operator seluler yang terbukti memfasilitasi Judol, baik sengaja maupun tidak disengaja diancam penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar, berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2). Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp 25 juta bagi pelaku perjudian.
Selain itu, bank dapat kehilangan dana hasil Judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita untuk kepentingan negara.
"Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam Judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank," paparnya.
Saat ini, berdasarkan data intelijen dari Kemenko Polhukam, jumlah masyarakat yang bermain Judol sepanjang 2024, mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen di antaranya adalah masyarakat menengah ke bawah.
"Jadi Judol merusak kehidupan masyarakat, baik sosial ekonomi, kesehatan dan mental. Di sisi lain, ada yang menikmati Judol dari sistem transaksi yang melibatkan lembaga pembayaran seperti bank, dan e-wallet," imbuhnya.
Perkuat Pengawasan
Pandangan senada disampaikan Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri. Judol sebagai fenomena global yang berkembang pesat di era digital, menjadi masalah yang mendesak diselesaikan Pemerintah.
"Kemudahan sistem pembayaran Judol melalui bank, a-wallet dan operator seluler meluas karena lemahnya pengawasan perbankan dan pengawasan sistem pembayaran," kata Deni.
Dia bilang, saat ini, koneksi pembayaran melalui Application Programming Interface (API) dari perbankan atau e-wallet ke Penyedia Sistem Pembayaran (PJP), sangatlah mudah. Ini melemahkan E-KYC (Electronic know your costumer) dan E-KYB (Electronic Know Your business).
"Banyak perbankan dan layanan e-wallet yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran di internalnya terkoneksi merchan berbasis Judol," ungkapnya.
Saat ini, kata dia, PJP yang mendapat izin operasi dari BI sesuai PBI No.22/23/PBI/2020 dan PJP yang mendapat izin PSE (penyelenggara system elektronik) PP No. 71/2019 dari Menkodigi, banyak yang berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchan Judol. Inilah yang menyebabkan Judol berkembang pesat
"Perbankan, layanan a-wallet, operator seluler adalah media yang digunakan untuk pembayaran Judol secara digital. Nah, Layanan tersebut, mendapat untung atau cuan atau Fee pendapatan dari setiap transaksi Judol," kata Deni.
Berdasarkan data Lembaga Center for Banking Crisis (CBC), pendapatan bank dari Judol yang seharusnya dikembalikan ke negara sepanjang 2017-2024, sekitar Rp 70,6 triliun. Sedangkan pendapatan layanan e-wallet yang seharusnya dikembalikan ke negara sekitar Rp 11,5 triliun. Kemudian, pendapatan sejumlah operator seluler sekitar Rp 4,2 triliun. Kalau ditotal pendapatannya mencapai Rp 86,3 triliun.
"Selain itu, beberapa transaksi yang diblokir OJK senilai Rp 101 trilliun yang melibatkan 6.400 rekening bahkan lebih, tersangkut Judol. Selanjutnya, harus menjadi deposito Pemerintah," kata Deni.
Seluruh dana yang tersangkut aktivitas Judol, kata Deni, maka sesuai hukum, uang tersebut disita oleh negara sebagai bagian dari tindakan penegakan hukum.
“Agar penarikan dana melalui sistem pembayaran digital tidak terganggu sebaiknya ditarik secara bertahap selama setahun dan pajak yang telah dibayar atas hasil pendapatan tersebut diperhitungkan sebagai pajak yang bayar dimuka,” katanya
Selain itu, lanjut Deni, pendapatan bank, aplikasi e-wallet dan operator seluler dari transaksi Judol akan dimasukan dalam APBN 2025. Dan dana tersebut, dapat digunakan untuk membantu program makan bergizi gratis.
"Proses penyitaan dilakukan melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dengan kesepakatan bahwa uang tersebut tetap diserahkan ke negara," tambahnya.