RN - Ancaman kubu Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) yang akan melaporkan KPU DKI Jakarta ke DKPP dinilai salah alamat. RIDO dituding sedang mamainkan jurus mabok.
Laporan ke DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu lantaran KPU dituding tidak profesional. Diketahui, Tim Sukses (Timses) RIDO menuding soal penyebaran formulir C6 atau surat undangan pemungutan suara kepada pemilih yang tidak merata.
Pengamat politik Adib Miftahul menilai, tudingan kalau KPU DKI Jakarta tidak profesional tidak mendasar. Dan laporan ke DKPP soal formulir C6 tak merubah hasil. "Gak terima undangan atau formulir C6 itu karena apa, karena ke TPS dan nunjukin KTP itu bisa mencoblos," tegasnya kepada wartawan, Selasa (3/12).
BERITA TERKAIT :Sepanjang pemilih itu terdaftar sebagai pemilih bisa mencoblos dengan membawa KTP. Menurut Adib, terkait partisipasi rendah di Pilkada DKI Jakarta bukan hanya KPU tapi juga menjadi tugas seluruh pasangan calon untuk mengajak pendukungnya ke TPS.
"Dan partisipasi pilkada serentak 2024 disemua daerah memang banyak yang turun. Artinya ada indikasi kejenuhan rakyat terhadap pesta demokrasi yang berbarengan," bebernya.
Kabar beredar, orang yang melaporkan tidak dapat undangan formulir C6 ke Timses RIDO hanya sekitar 100 orang. "Nyatanya banyak yang menerima C6 ketimbang tidak. Kalau partisipasi rendah di Jakarta atau golput itu adalah alasan politik dan bukan soal adiministrasi," ungkap Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN).
Pengamat yang juga analis politik dan dosen UNIS ini menambahkan, kalau memang mau melakukan evaluasi kepada KPU setelah penyelenggaraan selesai. Dia menduga tudingan yang dilontarkan hanya untuk menutupi kegagalan dan lemahnya kerja para Timses RIDO.
"Mungkin para timses tidak mau malu karena kalah, jadi cari cara untuk menutupi kesalahan dengan alasan partisiapsi (golput)dan profesionalitas. Atau memang anggaran seret jadi mereka duduk manis," tambahnya.
Seperti diberitakan, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menduga rendahnya partisipasi warga diduga karena jenuh yang bedampak pada partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024 rendah. Menurutnya, pemilih jenuh karena jarak antara pilpres, pileg, dan pilkada terlalu berdekatan. Pilpres dan pileg baru digelar pada Februari 2024 lalu.
Diketahui, Timses RIDO menuding KPU DKI Jakarta tidak profesional. Sekretaris Timses RIDO, Basri Baco, mengatakan tidak profesionalnya KPU Jakarta terlihat dalam penyebaran formulir C6 atau surat undangan pemungutan suara kepada pemilih.
Dia mengatakan, banyak warga yang tidak mendapatkan surat undangan di hari pemungutan suara. Menurutnya, warga yang tidak mendapatkan undangan tersebut akhirnya gagal menggunakan hak suaranya.
"Banyak warga yang tidak menerima, banyak warga yang tidak menerima dan yang menerima yang seharusnya dua, tiga, empat hari sebelumnya Pilkada, mereka rata-rata terimanya adalah satu atau dua minus H atau sebelum Pilkada," kata Basri Baco di Kantor DPD Golkar Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2024).
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta ini mengancam, pihaknya akan melaporkan KPU Jakarta kepada Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) buntut dari tudingan tidak profesional dalam penyebaran formulir C6 atau surat undangan pemungutan suara.
Golput Tinggi
Saat Pilkada DKI Jakarta partisipasi pemilih hanya 57,6 persen. Jumlah ini mencetak rekor tertinggi dalam sejarah pilkada di ibukota, di mana jumlah golput sanggat tinggi.
Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore, dari 98,5 persen data yang masuk terlihat tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16 persen.
Angka ini jauh di bawah partisipasi Pilpres 2024 yang mencapai lebih dari 80 persen. Partisipasi pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah.
Koordinator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU RI, August Mellaz, menyebut tingkat partisipasi ini bervariasi di setiap daerah.
“Kalau di-zoom-in, ada provinsi yang cukup tinggi, seperti 81 persen. Tapi ada juga yang sangat rendah, seperti 54 persen,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (29/11/2024).
Mellaz mengatakan, upaya-upaya sosialisasi dan penyebarluasan informasi terkait pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 tidak berbeda dibandingkan Pilpres 2024.
"Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibandingkan pilpres, pileg, itu biasanya di bawah," ucap Mellaz.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menganggap fenomena ini tidak terlepas dari sejumlah sebab yang melatarbelakangi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Pertama, adanya kelelahan karena menjalani pemilu nasional dan pilkada pada tahun yang sama.
Kelelahan dan kejenuhan ini dianggap terjadi bukan hanya pada pemilih, namun juga terjadi pada penyelenggara pemilu serta partai politik.
"Akhirnya banyak calon yang tidak sejalan dengan aspirasi daerah dan lebih mencerminkan selera elite politik nasional. Ini yang membuat mesin partai tidak bekerja di sejumlah daerah dalam melakukan kampanye pemenangan untuk calon yang diusung partainya," jelas Titi.
Ketiga, penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada yang tidak optimal. "Politik uang semakin masif disertai modus yang semakin beragam. Sementara penanganannya masih biasa dan standar saja. Sangat jomplang antara realitas dan efektivitas penegakan hukum," sebutnya.