RN - Pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana atau Dharma-Kun terus diprotes. Calon independen Jakarta ini dituding asal catut KTP dukungan.
Setelah ditetapkan KPU DKI Jakarta, banyak warga, LSM dan aktivis anti pemilu memprotes. Mereka menuding adanya jurus catut.
"Calon boneka belum menang aja catut sana sini," ungkap Faisal warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu (17/8) malam.
BERITA TERKAIT :Bapak dua anak ini mengaku, dirinya dan istri kena catut. "Saya tak pernah mendukung Dharma-Kun. Apalagi dia cuma boneka merusak demokrasi, KPU kalau main jangan becek dong," keluhnya.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengklaim Ketua DPC PDIP Jakarta Timur Dwi Rio Sambodo turut menjadi korban pencatutan nomor induk kependudukan (NIK) untuk mendukung Dharma Pongrekun-Kun Wardhana sebagai bapaslon independen di Pilkada Jakarta 2024.
Hasto menegaskan Rio mustahil mendukung Dharma-Kun, karena partainya memang belum mengeluarkan keputusan terkait paslon yang didukung di Pilgub Jakarta ini.
"Ada Ketua DPC PDIP Jakarta Timur, saudara Rio, itu KTP-nya juga dicatut. Padahal sebagai anggota partai tidak mungkin ya untuk memberikan dukungan kepada calon perseorangan karena seluruh anggota partai menunggu keputusan Ibu Megawati Soekarnoputri [Ketua Umum PDIP]," kata Hasto di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan, Sabtu (17/8).
Hasto mengatakan PDIP secara organisasi tidak akan melaporkan pencatutan nama kadernya tersebut untuk mendukung Dharma-Kun ke polisi.
Ia mengaku akan mempersilakan proses pelaporan tersebut kepada masyarakat Jakarta yang dirugikan akibat pencatutan ini.
Kendati demikian, Hasto mengaku akan melakukan penelusuran internal untuk mengetahui apakah ada lagi kader PDIP yang turut dicatut mendukung Dharma-Kun.
"Yang melapor rakyat sekarang. Jadi, kita juga melihat sedang mengidentifikasi dari internal PDIP yang KTP-nya dicatut bagi kepentingan penciptaan 'calon boneka'," jelas dia.
Di sisi lain, Hasto mengaku yakin pelaporan yang dilayangkan masyarakat kepada polisi terkait pencatutan dukungan itu akan ditindaklanjuti.
"Kami optimis bahkan itu akan menjadi gerakan rakyat, karena kedaulatan itu berada di rakyat," ujar dia.
Kisruh pencatutan NIK untuk jadi dokumen bagi syarat pencalonan Dharma-Kun menjadi ramai setelah bapaslon independen itu dinyatakan KPU Jakarta lolos verifikasi faktual.
Warga pun ramai-ramai mengecek NIK masing-masing di laman khusus yang disediakan KPU. Hasilnya, banyak warga yang menyatakan telah dicatut termasuk dari kalangan jurnalis, eks penyelidik KPK, hingga anak eks Gubernur DKI Anies Baswedan.
Terkait itu, seorang warga bernama Samson yang mengklaim nama dan NIK-nya dicatut untuk mendukung Dharma-Kun juga telah melaporkan hal itu ke Polda Metro Jaya.
Laporan itu telah diterima dengan nomor LP/B/4830/VII/2024/SPKT POLDA METRO JAYA, tanggal 16 Agustus 2024. Dalam laporan itu, terlapor tertulis dalam lidik (penyelidikan).
"Membuat laporan polisi terkait dengan pencatutan data nomor induk kependudukan Pak Samson untuk digunakan terhadap pencalonan atau dukungan terhadap calon perseorangan individu gubernur DKI Jakarta atas nama Bapak Komjen Purn Dharma Pongrekun dan wakilnya Bapak Kun," kata kuasa hukum pelapor, Army Mulyanto di Polda Metro Jaya, Jumat (16/8) malam.
Bawaslu DKI Jakarta meminta warga melapor soal dugaan pencatutan identitas itu. Lembaga itu pun membuat kanal pelaporan tersendiri.
"Andaikata ada masyarakat merasa dicatut namanya padahal tidak memberikan dukungan. Silakan melapor kepada Bawaslu DKI Jakarta," kata Koordinator Divisi Penangganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, Benny Sabdo saat dihubungi.
Benny mengatakan laporan bisa langsung disampaikan ke Kantor Bawaslu DKI Jakarta.
"Laporan resmi, pelapor datang ke Bawaslu DKI. Nanti petugas kami akan melayani," ujar dia.
Adapun KPU Jakarta, melalui komisioner Dody Wijaya mengatakan dalam posisi ini pihaknya hanya penerima data dari paslon Dharma-Kun. Sehingga bagaimana cara bapaslon itu mendapatkan dukungan KTP tersebut, agar ditanyakan ke yang bersangkutan.
"Jadi KPU ini end user, soal sumber data KTP dan sebagainya, bisa ditanyakan ke bakal paslon, sumbernya dari mana, bagaimana cara mengumpulkan. Itu di luar dari kewenangan atau jangkauan kami," kata Dody di Jakarta Pusat, Jumat (16/8).
Dody menerangkan KPU Jakarta hanya berperan untuk melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dari data yang diberikan oleh paslon.
"Kami hanya melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Administrasi, sepanjang ada KTP-nya, ada pernyataan dukungan, maka kami nyatakan memenuhi syarat dalam verifikasi administrasi. Kami verifikasi faktual, dicocokkan KTP-nya, dicocokkan mendukung atau tidak mendukung," katanya.
Lebih lanjut, Dody menyebut tahapan verifikasi faktual tersebut kini telah rampung. Kata dia, pihaknya bakal menunggu rekomendasi dari Bawaslu ihwal dugaan pencatutan identitas ini.
"Kami akan menunggu rekomendasi dari Bawaslu DKI Jakarta terkait situasi seperti ini. Apa rekomendasi dari Bawaslu, karena dari sisi kami, proses baik penyerahan dukungan, verifikasi administrasi pertama, perbaikan kedua, verifikasi faktual kesatu, verifikasi faktual kedua, sudah kami lakukan," katanya.
Sementara itu sejak isu ini ramai pada, baik Dharma-Kun, maupun timnya belum memberikan keterangan resmi soal dugaan pencatutan NIK warga tersebut.
Di tempat terpisah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendesak KPU melakukan verifikasi ulang.
"KPU segera melakukan verifikasi ulang terhadap kandidat yang mengumpulkan dokumen persyaratan secara melawan hukum, terutama yang berkaitan dengan data pribadi pemilih, dan memastikan kewajiban kepatuhan terhadap UU PDP [Perlindungan Data Pribadi] dalam melakukan proses verifikasi," demikian keterangan ELSAM, Jumat (16/8).
ELSAM mengatakan terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum.
Pada Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP dijelaskan pemrosesan KTP yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu.
Untuk meminta persetujuan ini, lanjut ELSAM, pasangan calon harus menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, dan rincian informasi yang dikumpulkan.
"Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apapun dari subjek data," kata ELSAM.