RN - Inisial MI disebut-sebut bak raja kecil. MI yang menjabat sebagai anggota DPRD DKI Jakarta disebut salah satu pemilik Pulau Congkak di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.
MI diduga kuat telah melalukan reklamasi ilegal atau tanpa izin. Diketahui, di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu tidak diperbolehkan adanya reklamasi. "Kalau melanggar ya bisa dihukum. DPRD bukan kebal hukum bro," ungkap Komunikolog Politik dan Hukum Nasional, Tamil Selvan dalam siaran persnya, Minggu (28/7) malam.
Tamil meminta kepada penegak hukum untuk menindak oknum anggota DPRD inisial MI itu. "Jangan serampangan main reklamasi, Pemprov DKI harus bertindak ini," tegasnya.
BERITA TERKAIT :MI juga disebut-sebut sebagai Ketua DPD parpol di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan kini duduk di Komisi D DPRD DKI Jakarta.
"MI ini berani dan nekat, sudah ada aturan kalau kawasan Pulau Seribu tidak boleh ada reklamasi," ungkap Tamil.
Pulau Karang Congkak milik MI juga menjadi sorotan warga karena adanya perbedaan data luas tanah antara Pergub 31 tahun 2022 dan data dari Pemkab Kepulauan Seribu.
Berdasarkan Pergub 31 tahun 2022, luas Pulau Karang Congkak tercatat sebesar 11.200 meter persegi. Namun, data dari Pemkab Kepulauan Seribu menunjukkan luas tanah tersebut hanya sebesar 3.004 meter persegi.
Pada tahun 2024, Pemkab Kepulauan Seribu tetap berpegang pada data mereka yang menyatakan luas tanah milik MI hanya 3.004 meter persegi.
Hal ini menyebabkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak klaim luas tanah MI yang sebesar 11.200 meter persegi.
“Ditolak BPN karena berdasarkan data ini luasnya hanya 3 ribu meter, bukan 30 ribu meter yang mau dimintakan disertifikat oleh MI,” ungkap salah satu sumber di Pemprov DKI Jakarta.
Pejabat tersebut juga mengingatkan bahwa reklamasi di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu bisa berujung pada masalah hukum.
"Apa tidak tahu bahwa reklamasi di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu tanpa izin tidak boleh," tegasnya.
Kasus ini bukanlah satu-satunya yang terjadi di Kepulauan Seribu. Investigasi di lapangan menemukan adanya dugaan penjualan tiga pulau lainnya, yakni Pulau Gosong Peniki, Gosong Rengat, dan Pulau Gosong Karang Bongkok.
Aksi protes dari kelompok mahasiswa yang menamakan diri Gema, dipimpin oleh Rahman Akim, juga menjadi bagian dari konflik ini.
Ketika ditanya apakah demo mereka murni atau ada sponsor, Rahman Akim menjawab, "Kita tidak ada sponsor, bang, kita mandiri."
Saat ditanya mengapa hanya Bupati yang menjadi target protes, sementara anggota DPRD yang diduga melakukan reklamasi tidak didemo, Akim mengatakan masih fokus pada Karang Bongkok.
Sengketa ini menimbulkan berbagai spekulasi dan kekhawatiran akan adanya ketidakadilan dalam pengelolaan lahan di Kepulauan Seribu.
Masyarakat setempat berharap ada transparansi dan kejelasan mengenai status lahan di kawasan ini. Pihak berwenang di Kepulauan Seribu diharapkan segera memberikan penjelasan dan menyelesaikan sengketa ini untuk mencegah konflik lebih lanjut.
Penjualan dan reklamasi lahan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Kepulauan Seribu harus diawasi ketat agar tidak merusak ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Berbagai pihak, termasuk LSM lingkungan, juga ikut memantau perkembangan kasus ini. Mereka mendesak pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran hukum terkait lahan di Kepulauan Seribu.
Sementara itu, MI belum memberikan tanggapan resmi terkait penolakan BPN dan perbedaan data luas tanah miliknya. Publik menunggu klarifikasi dari MI untuk memahami situasi yang sebenarnya.
Sementara Bupati Kepulauan Seribu Junaedi terkait adanya tudingan jual beli pulau membantah. "Pa Fadli keluarga Bapak Sain warga pulau Kelapa sebagai penggarap pulau Karang Bongkok Kecil yang sudah over alih kepada keluarga. Ronny Sukamto," ucap Junaedi.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.