RN - Dampak perang Iran dan Israel mulai terasa. Walau belum sistemik dan masih kecil tapi dampak ekonomi itu wajib diwaspadai.
Saat ini, nilai tukar rupiah ke dolar AS mulai melemah. Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengumpulkan para menteri untuk membahas dampak konflik Iran vs Israel terhadap perekonomian Indonesia, termasuk lonjakan harga minyak, di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/4).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, dampak Iran dan Israel dari sisi perekonomian bisa ada lonjakan harga minyak.
BERITA TERKAIT :Selain itu, ada juga dampak kenaikan harga logistik yang perlu diantisipasi. Ia menjelaskan operasional pengiriman barang di Selat Hormuz dan Laut Merah berpotensi besar terdampak konflik.
"Dari segi ekonomi, Laut Merah dan Selat Hormuz itu menjadi penting, terutama karena Selat Hormuz (ada) 33 ribu kapal minyak dan Laut Merah 27 ribu. Dan peningkatan freight cost menjadi salah satu yang harus dimitigasi," jelas Airlangga.
Kemudian, dampak pada sektor perdagangan riil juga menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, dampak depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga produksi dinilai dapat membuat harga barang-barang yang diimpor melonjak. Sementara dampak positifnya, harga produk-produk yang diekspor dari dalam negeri juga bisa melonjak.
Ia mengatakan konflik yang terjadi di Timur Tengah membuat banyak investor yang mulai mencari instrumen safe haven, mulai dari emas hingga menyimpan dolar AS. Hal ini yang membuat nilai tukar rupiah bisa melemah.
Sementara dolar Amerika Serikat (AS) makin galak. Diprediksi nilai tukar dolar ke rupiah cenderung tertekan.
Pada Rabu (17/4), rupiah tergelincir 76 poin atau 0,47 persen menjadi Rp16.252 per dolar AS.
Kemarin, Selasa (16/4), rupiah ditutup melemah 2,07 persen ke Rp16.175,5 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS menguat 0,08 persen ke 106,29.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan mata uang rupiah masih akan ditutup melemah pada rentang Rp16.160-Rp16.250 per dolar AS pada Rabu (17/4). Menurutnya, Rupiah juga menghadapi sikap Federal Reserve yang masih ragu memangkas suku bunga sehingga dolar AS cenderung tinggi.
Ia menjelaskan salah satu penyebab penguatan indeks dolar adalah karena menguatnya data ekonomi AS, salah satunya data penjualan ritel yang naik 0,7 persen dari bulan lalu.
The Fed bisa saja menaikkan suku bunga karena eskalasi konflik yang tinggi di timur tengah. Di sisi lain, menurutnya, komentar dari pejabat The Fed yang mengatakan kemungkinan besar The Fed tidak akan menurunkan suku bunga di semester II/2024 atau hanya menurunkan 25 bps membuat indeks dolar kembali mengalami penguatan.
Konflik Iran-Israel juga kemungkinan membuat indeks dolar akan menuju 110-112, yang merupakan level tertinggi sepanjang masa yang ditakutkan pasar.
Dampaknya untuk Indonesia akan membuat harga minyak mentah mengalami kenaikan sampai 100 dolar AS per barrel dan ini akan membuat impor minyak Indonesia membengkak.
"Indonesia adalah salah satu importir minyak mentah terbesar di Asia," kata Ibrahim.
Selain Rupiah, mata uang lain di kawasan Asia juga ditutup bervariasi pada Selasa sore. Yen Jepang turun 0,10 persen, dolar Singapura turun 0,12 persen, dolar Taiwan turun 0,36 persen , won Korea Selatan turun 0,77 persen, dan peso Filipina turun 0,31 persen.
Rupee India juga terdampak dan mengalami penurunan 0,09 persen, juga dengan yuan China yang melemah 0,02 persen, ringgit Malaysia melemah 0,29 persen. Beda halnya dengan baht Thailand yang naik 0,25 persen.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu sebelumnya meramal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bisa lebih besar alias boncos hingga rantai pasok akan terganggu jika ketegangan ini berlanjut.
Eks Menteri Perdagangan Indonesia periode 2004-2011 itu mengatakan apabila Israel membalas serangan Iran, maka perekonomian dunia akan terganggu, termasuk ke Indonesia. Besaran dampaknya tergantung pada bagaimana cara pembalasan yang direncanakan Israel.
"Nah, untuk Indonesia apa pengaruhnya? Rantai pasok melalui Suez kanal akan mengalami gangguan, sehingga ada gangguan terhadap input kita, apakah itu minyak, gandum maupun produk dari Eropa yang lainnya," ujarnya dalam Diskusi Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowships Indonesia, Senin (15/4).