Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Putusan MK Cacat, KPU Tak Bisa Ubah PKPU Tanpa Konsultasi DPR & Pemerintah! Mahasiswa anti Politik Dinasti: Tolak Politik Dinasti

RN/CR | Jumat, 20 Oktober 2023
Putusan MK Cacat, KPU Tak Bisa Ubah PKPU Tanpa Konsultasi DPR & Pemerintah! Mahasiswa anti Politik Dinasti: Tolak Politik Dinasti
-Ist
-

RN - Kelompok mahasiswa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Anti Politik Dinasti (AMAPI) berunjuk rasa didepan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (20/10/2023).

Mereka mendesak pembentukan Mahkamah Kehormatan MK untuk memeriksa kejanggalan dalam pemeriksaan perkara oleh hakim MK terkait soal dikabulkannya putusan gugatan usia Capres Cawapres.


"Kami mendesak Anwar Usman turun dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi," tegas Koordinator Aksi A Fahrur Rozi.

BERITA TERKAIT :
Bang Zaki Daftar Penjaringan Bakal Calon Bupati Paluta ke Demokrat
Panen Dukungan: Aksi AMUK RI Bagi Bunga Mawar & Tanda Tangan di Kain Putih Panjang Ajak Masyarakat Bersatu Setelah Pilpres 2024

Dalam aksinya, massa juga menggelar spanduk bertuliskan "Putusan MK Cacat KPU Jadilah Juru Selamat".

Selain sambangi Gedung MK, para pendemo juga melakukan aksi serupa di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng Jakarta Pusat. Mereka meminta agar KPU tidak mengubah PKPU usia Capres/Cawapres tanpa konsultasi dengan Pemerintah dan DPR.

"Putusan MK adalah cacat hukum. Tolak politik dinasti, dan Gibran dianggap tidak sah mencalonkan diri sebagai pasangan calon sebelum KPU merubah ketentuan pencalonan dalam PKPU," sebutnya.

Dia melanjutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XII/2023 yang dibacakan pada 15 Oktober 2023 tersebut, pihaknya telah menemukan ada sejumlah cacat hukum dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Mahkamah dalam pemeriksaan perkara a quo. 

Sedari awal, perkara usia minimal Capres/Cawapres merupakan kewenangan dari DPR (open legal policy). Mahkamah dalam hal ini tidak berwenang menguji perkara yang sifatnya kehendak politik pembuat undang-undang (political complaint). 

"Akan tetapi, dengan prosedur formil dan subtansi materil yang cacat tersebut, Mahkamah tetap mengabulkan perkara tersebut di mana usia minimal capres/cawapres dapat dikonversi dengan kepunyaan pengalaman menjadi kepala daerah (elected appointed)," tuturnya.

"Hal ini jelas adalah penyelundupan hukum yang nyata dan aktual direncanakan sedari awal. Hal ini mengakibatkan putusan MK terkait usia Capres/Cawapres cacat hukum baik secara formil maupun materil," sambungnya.


Tak hanya itu, tambah mereka, pihaknya menyadari kalau putusan MK kendatipun cacat hukum tetap bersifat final dan mengikat (final and binding). Akan tetapi, dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak serta merta dapat merubah PKPU Nomor 19/2023 hanya karena mengadopsi putusan MK. Lembaga MK dalam hal ini tetap bukan dalam kapasitasnya sebagai lembaga pembuat undang-undang (positive legislator). 

Oleh karenanya, kata dia, perubahan terhadap PKPU harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Pemerintah dan DPR. Tanpa mekanisme semacam itu, hal tersebut jelas menimbulkan problem hukum baru di tengah masyarakat. 

"Fakta saat ini, DPR dalam masa reses untuk mengagendakan perubahan tehadap PKPU. Sedangkan pendaftaran Capres/Cawapres akan berkahir pada Rabu, 25 Oktober 2023. Maka yang jelas, untuk kepastian hukum yang adil, syarat usia Capres/Cawapres yang dapat dikonversikan dengan kepunyaan pengalaman sebagai Kepala Daerah tidak dapat diberlakukan untuk Pemilu 2024," pungkasnya.

#PKPU   #MK   #Demo