RN - Advokat Ahmad Khozinudin menyayangkan statemen Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang menyinggung negara butuh pemimpin muda saat memberikan kuliah umum di Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu, 9 September 2023.
Menurut Ahmad Khozinuddin, sikap Anwar Usman ini berpotensi pelanggaran kode etik. “Berpotensi melanggar kode etik," tegas dia, hari ini.
Kata dia, sebagai seorang hakim, Anwar seharusnya hanya bicara materi perkara dalam putusan pengadilan dan tidak diperbolehkan membicarakan materi gugatan di luar Pengadilan.
BERITA TERKAIT :Ia juga melihat ada conflict of interest alias konflik kepentingan antara Anwar Usman dengan sejumlah permohonan judicial review terkait batas usia capres dan cawapres. Baik batas atas yang dipatok maksimum 70 tahun atau batas bawah yang minta diturunkan menjadi 35 tahun sampai 25 tahun.
"Karena ada satu keponakannya yakni mas Gibran yang hari ini menjabat sebagai pejabat penyelenggara negara, itu akan diuntungkan melalui satu permohonan yang meminta agar batas usia minimum capres bisa diturunkan menjadi 35 tahun," ungkap dia.
Tindakan komunikasi publik yang dilakukan Anwar, kata dia, justru bisa ditafsirkan sebagai penggalangan opini untuk memberikan legitimasi publik atas putusan yang boleh jadi sudah disiapkan oleh MK.
Ia juga menilai bahwa arah MK kini tidak lagi menjadi lembaga yang melakukan uji materil atau judicial review atas produk legislasi terhadap konstitusi, atau menguji undang-undang (UU) terhadap undang-undang dasar (UUD 1945).
"MK menjadi lembaga legislatif kedua setelah DPR. Pihak MK membuat tafsiran dengan membuat norma-norma baru. Padahal batasan usia ini kan sebenarnya masuk kategori open legal policy, jadi apakah usia tertentu bertentangan atau tidak, itu pilihan politik bagi DPR yang mana mereka punya konsensus saat membuat atau merancang UU Pemilu," tegas advokat yang mendedikasikan dirinya sebagai sastrawan politik ini.
Menurutnya, MK tidak bisa melakukan intervensi mengubah batasan baik minimum maupun maksimum. "Kalau masuk ke tafsir mengubah batasan minimum dan maksimum berarti MK telah berubah bukan lagi menjadi lembaga yang mengadili UU terhadap UUD. Tapi MK berubah menjadi lembaga legislatif," tandasnya.