RN - Siapa bilang keadilan sudah mati di negeri ini. Buktinya, nasabah perbankan syariah yang nyaris saja kehilangan aset mampu mempertahankan apa yang menjadi miliknya.
Untuk itulah bagi nasabah perbankan syariah, sebaiknya berhati-hati ketika mengajukan kredit. Kalau tak cermat bisa-bisa aset yang dijaminkan melayang.
Seperti pengakuan Umar. Dia mengakukan kredit ke sebuah bank berbasiskan syariah, yakni bank syariah pada 2013 dan 2014. Dia pun menyerahkan dua setifikat sebagai jaminan. Dalam dua tahun itu, total kreditnya mencapai Rp3,4 miliar.
BERITA TERKAIT :Awalnya, kata Fawaz Basyarahiel, kuasa hukum Umar, cicilan lancar dibayar hingga 13 kali. Selanjutnya, Umar kelimpungan karena bisnisnya menurun drastis. Selanjutnya menjadi kredit macet. Pada 2015, pihak bank melayangkan surat peringatan 1 sampai 3.
"Namun, Pak Umar terus menjalin komunikasi dengan pihak bank. Intinya, dia punya itikad baik untuk melunasi kreditnya. Beliau minta keringanan karena bisnisnya sedang lesu," kata Fawaz , Jumat (13/1/2023).
Lima tahun berselang, Umar kaget. Datang Syarief yang mengaku sebagai pemilik cessie atas piutang Umar yang dibelinya dari Bank Panin Dubai Syariah.
Tak ada angin apalagi hujan, Syarif meminta Umar segera membayar utang senilai Rp3,5 miliar, beserta bunga dan denda. Upaya negesiasi dilakukan Umar, namun buntu. Pihak pemegang cessie, terus menekannya agqar segera membayar Rp3,5 miliar. "Kemudian, beliau menunjuk saya sebagai kuasa hukum," terang Fawaz.
Fawaz mengatakan, masalah ini sudah dicoba diselesaikan secara musyawarah. "Saat sempat ke kantor bank, meminta dokumen perjanjian kredit milik Umar yang memang belum diberikan kepada Umar selaku debitur. Namun tidak direspons dengan baik. Termasuk minta bocoran berapa angka peralihan piutang kepada pemilik cessie, tidak diberitahu pihak bank," terangnya.
Merasa dipermainkan, Umar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Inti dari gugatan tersebut adalah pihak bank syariah itu, seharusnya melaksanakan transaksi mengacu UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. "Selain itu, harus mengacu kepada POJK dan merujuk kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Faktanya itu semua dilanggar," ungkapnya.
Khususnya mengenai piutang kepada pihak ketiga berpedoman kepada aturan bank konvensional (cessie), sebagaimana diatur dalam pasal 613. KUH Perdata.
Sehingga kami menggugatnya ke PN Jakarta Timur berdasarkan Akta Pengalihan Piutang antara bank syariah dengan pihak ketiga (pemilik cessie) yang dibuat dihadapan notaris, merupakan produk perbankan konvensional, sehingga yang berhak mengadili adalah pengadilan negeri, bukan pengadilan agama.
Hingga berita ini diturunkan pihak bank syariah belum memberikan bantahan ataupun klarifikasi.
"Berbeda jika pengalihan piutang yang dibuat menggunakan aturan yang dikeluarkan DSN MUI yaitu Subrogasi dalam prinsip syariah. Maka kewenangan pengadilan agama untuk mengadilinya," terang Fawaz.
Selain itu, lanjut Fawaz, debitur selaku pemilik hak atas sertifikat yang dijaminkan ke bank, dan pembuat perjanjian dengan bank, seharusnya dilibatkan dalam proses peralihan piutang tersebut.
"Dalam pasal 613 KUH Perdata menyebutkan: penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang, sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau disetujuinya secara tertulis, atau diakuinya," kata Fawaz.
Faktanya, lanjut Fawaz, debitur baru mengetahui beberapa bulan setelah terjadi peralihan piutang. Informasinya pun didapatkan dari pihak ketiga pada Desember 2020. Sementara, peralihan piutang sudah terjadi pada juli 2020.
Majelis hakim PN Jaktim memilik pendapat hukum senada dengan kuasa hukum debitur. Ada pun bukti pengiriman surat pemberitahuan dari pihak bank ke debitur, ditolak. Resi bukti pengiriman dari JNE atau Tiki tertanggal 30 Juli 2020, bisa saja dibuat dan dikeluarkan kapan saja.
Selanjutnya, majelis hakim PN Jaktim memutus Akta Pengalihan Piutang (cessie) yang dibuat antara tergugat I (bank) dengan tergugat II (pemilik cessie) dihadapan notaris (turut tergugat), batal demi hukum, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. "Selanjutnya menyatakan bahwa hubungan hukum penggugat kembali kepada tergugat I (bank)," imbuhnya.
Berdasarkan putusan tersebut, Fawaz mengatakan,kliennya mendapatkan keadilan yang setimpal. Selama ini, pihak debitur selalu menjadi pihak yang sulit mendapatkan keadilan. Apalagi yang dilawan adalah perbankan.
"Kami menghimbau masyarakat selaku debitur yang memiliki nasib serupa dengan Pak Umar, agar melakukan upaya yang sama dengan melakukan gugatan ke pengadilan. Demi mendapatkan keadilan," pungkasnya.