Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Bamsoet & La Nyalla Dengar Nih, Perpanjang Masa Jabatan Presiden Sama Dengan Makar?

RN/NS | Jumat, 30 Desember 2022
Bamsoet & La Nyalla Dengar Nih, Perpanjang Masa Jabatan Presiden Sama Dengan Makar?
-

RN - Memperpanjang masa jabatan Presiden bisa disebut makar. Dan 77 persen publik tetap pada aturan yang berlaku yakni masa jabatan Presiden dua periode.

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menyebutkan, masyarakat yang puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak adanya perubahan masa jabatan presiden. 

Saiful mengatakan, hal itu saat bedah politik bertajuk "Kinerja Presiden dan Penundaan Pemilu" yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, Kamis (29/12/2022).

BERITA TERKAIT :
Trump Tuding Kamala Harris Akan Bawa AS Perang Dunia Ke-3
Pilkada DKI Perang Survei, Poltracking Yang Menang RK Dan LSI Yang Unggul Pramono

Dia mengaku agak tercengang dengan munculnya pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang mengajak untuk berpikir kembali tentang Pemilu 2024 dengan dalih kinerja Presiden Jokowi dinilai bagus oleh rakyat pada umumnya. Beberapa bulan terakhir, kata Saiful, semua sudah berpikir tentang Pemilu 2024.

KPU, kata Saiful, sudah terbentuk dan sudah bekerja. Partai-partai politik sudah diverifikasi dan sudah diketahui partai mana saja yang lolos untuk menjadi peserta pemilu.

Disebutkannya, SMRC memiliki data tren tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi sejak 2015. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi cenderung mengalami penguatan.

Pada periode kedua, tingkat kepuasan ini rata-rata 70 persen. Pada survei terakhir di bulan Desember 2022, tingkat kepuasan publik pada kinerja presiden Jokowi 74,2 persen.

Saiful melihat tingkat kepuasan publik ini sangat tinggi. Tingkat kepuasan ini adalah cerminan dari approval atau biasa disebut sebagai approval rating terhadap pemimpin pemerintahan.

"Ini peristiwa yang sangat penting bahwa Presiden Jokowi memiliki approval rating yang sangat tinggi," paparnya dalam siaran persnya.

Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti memiliki pandangan bahwa sebaiknya Pemilu 2024 ditunda ke 2027, karena banyak tantangan dan terbukti kinerja Jokowi selama ini baik. Opsi kedua adalah Pemilu 2024 tetap, tapi Jokowi diberi kesempatan untuk kembali mencalonkan diri sehingga mengubah konstitusi tentang jabatan presiden menjadi tiga periode.

Saiful melihat posisi Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR yang memiliki wewenang mengubah Undang-undang Dasar sehingga posisinya sangat penting. Oleh karena itu, menurut Saiful, pandangan Ketua MPR tersebut perlu dibahas.

Pandangan Bambang dan La Nyalla tersebut, menurut Saiful, tidak mencerminkan aspirasi publik.

"Di satu sisi, kinerja Presiden Jokowi memang bagus. Tapi apakah bagusnya kinerja Presiden Jokowi itu membuat publik menginginkan agar dia dikasih wewenang untuk kembali berkuasa dengan mengubah konstitusi atau dikasih tambahan kekuasaan tiga tahun lagi," ujarnya.

Dalam konstitusi tertulis bahwa presiden menjabat selama lima tahun. Dan kembali bisa dipilih untuk periode berikutnya hanya satu kali.

Oleh karena itu, kata Saiful, jika ingin menambah periode jabatan tiga tahun tanpa dipilih oleh rakyat, itu jelas harus mengubah konstitusi. Saiful bahkan menyebut ide penambahan durasi kekuasaan itu adalah makar.

"Ide ini (penambahan kekuasaan tiga tahun), bagi saya, agak makar karena bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas membatasi kekuasaan," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Survei SMRC pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022 menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya dua kali dan masing-masing selama dua tahun. Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77 persen publik yang ingin ketentuan itu dipertahankan, sementara yang ingin mengubahnya hanya 13 persen.

"Dari 13 persen yang ingin perubahan, mayoritas mereka menginginkan masa jabatan presiden justru dipersempit, bukan ditambah lebih dari dua kali," jelasnya.