RN - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) DKI Jakarta telah menyiapkan langkah mitigasi untuk menghadapi bencana banjir.
Upaya ini untuk menyikapi musim hujan yang terjadi mulai akhir Oktober 2022 sampai Februari 2023 sebagai fenomena La Nina, berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Kepala BPBD DKI Jakarta Isnawa Adji mengaku, langkah mitigasi ini melibatkan berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) di DKI Jakarta, termasuk lintas sektor di lembaga vertikal. Mulai dari Dinas Sumber Daya Air (SDA), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan, BMKG dan sebagainya.
BERITA TERKAIT :Untuk Dinas SDA fokus pada pembuatan waduk, situ dan embung sebagai tempat penampungan air hujan. Di sisi lain, SDA juga melakukan pengerukan terhadap sungai, waduk, situ dan saluran air yang sudah eksisting saat ini.
“Petugas juga melakukan pengecekan dan perawatan pompa air, termasuk penyiapan pompa mobile untuk mempermudah penyedotan air jika terjadi bencana banjir atau genangan,” kata Isnawa.
Hal itu dikatakan Isnawa saat diskusi Balkoters bertajuk ‘Musim Hujan dan Keselamatan Warga’ di Novotel Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis (27/10/2022). Turut hadir Senior Manager Komunikasi dan Umum PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya Kemas Abdul Gaffur; Ketua PWNU DKI Jakarta Samsul Ma'arif; dan Direktur Eksekutif Studi Perkotaan Nirwana Joga.
Isnawa melanjutkan, untuk langkah mitigasi berikutnya adalah pendistribusian sarana dan prasarana penanggulangan banjir di tempat-tempat rawan bencana. Pihaknya juga rutin mengkaji rencana kontingensi bencana banjir.
“Kami juga melakukan apel siaga untuk pengecekan kekuatan sumber daya, kemudian melakukan simulasi gabungan penanganan bencana banjir dan pemetaan terhadap sumber daya (instansi/lembaga),” ungkapnya.
Berdasarkan informasi dari BMKG, lanjut dia, Indonesia menjadi titik pertemuan antara cuaca dari arah utara dan selatan. Dampaknya, akan terjadi peningkatan curah hujan di berbagai wilayah Indonesia termasuk di DKI Jakarta.
“Kalau di Jakarta itu yang paling sering hujan adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Sedangkan wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara kecenderungannya lebih sedikit dari wilayah lainnya,” kata Isnawa.
Dari data yang dia punya, tercatat ada 25 kelurahan dari total 267 kelurahan yang teridentifikasi rawan bencana, terutama banjir. Lokasi itu paling banyak yang bersinggungan dengan kali dan sungai dari kawasan hulu ke hilir.
Adapun 25 kelurahan itu tersebar di berbagai wilayah kota administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Seperti di Jakarta Barat di wilayah Rawa Buaya dan Kembangan, kemudian Jakarta Selatan di Kelurahan Cipeter, Pejaten Timur, Cipulir dan sebagainya.
“Sebenarnya itu paling banyak di wilayah-wilayah yang berada di bantaran kali, seperti di Kawasan Pondok Karya Kemang, itu kan banjir disebabkan oleh Kali Mampang dan sudah masuk dalam program Dinas SDA untuk melakukan optimalisasi (pengerukan) di sana,” ucapnya.
“Jadi, kita mengalami kondisi apabila di kawasan hulu atau di Depok dan Bogor mengalami hujan lebat, pasti akan terdorong airnya ke Jakarta. Di tambah di Jakarta juga hujan, jadi kita mengalami dua sumber (hujan) yang akhirnya banyak sekali menyebabkan titik-titk genangan,” lanjutnya Isnawa.
Guna mempercepat informasi kepada masyarakat, Isnawa juga memanfaatkan aplikasi grup WhatsApp soal tinggi muka air (TMA) terbaru dan menyebarkan di sosial media milik Pemprov DKI Jakarta. Penyebaran informasi peringatan dini banjir ini juga diperkuat melalui SMS broadcast dengan melibatkan Kementerian Kominfo dan penyedia jaringan telepon.
“Kamai juga menyiapkan dan mengecek sistem peringatan dini banjir dengan menggandeng BMKG, memantau pasang surut air laut dan pemantauan pintu air sungai hulu,” imbuhnya.
Sementara untuk personel, BPBD DKI Jakarta mengerahkan 267 petugas untuk mengantisipasi bencana saat musim hujan. Jumlah itu di luar dari petugas yang ada di wilayah-wilayah maupun organisasi perangkat daerah (OPD) teknis lainnya.
“BPBD DKI memiliki sebanyak 267 orang petugas penanganan bencana atau yang biasa dikenal dengan Tim Reaksi Cepat (TRC) yang telah disiagakan di seluruh kelurahan yang ada di Jakarta dalam mengantisipasi bencana yang dapat ditimbulkan akibat cuaca ekstrem, seperti banjir ataupun tanah longsor,” jelasnya.
Sementara itu Ketua PWNU DKI Jakarta Samsul Ma’arif menilai, penataan kota yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta harus didukung oleh semua pihak. Tidak hanya dukungan dari pihak swasta, akademisi dan media saja, tetapi penataan kota juga harus melibatkan komunitas, salah satunya organisasi masyarakat (ormas) atau lembaga keagamaan.
Samsul menyoroti, banyaknya musibah di Ibu Kota dari sudut pandang religi karena minimnya peran tokoh agama, termasuk pemahaman keagamaan di masyarakat yang masih kurang. Jika merujuk pada materi ceramah di majelis taklim maupun di tempat kerja, kata dia, mayoritas membahas soal aspek sosial, ibadah, hingga menyinggung aspek politik.
“Mungkin di Jakarta kadang-kadang aspek politiknya yang lebih kencang, tetapi belum merata bagaimana memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat, misalnya bahaya orang yang tidak mengolah air secara benar,” katanya.
Sebagai contoh, pengelolaan air yang harusnya ditangani pemerintah. Namun faktanya banyak sekelompok masyarakat justru memanfaatkan air tanah dengan cara membeli mesin sendiri, sehingga berpotensi pada penurunan muka tanah atau land subsidence.
“Banyak pengamat yang memprediksi bahwa Jakarta itu 30 tahun atau 50 tahun yang akan datang bakal tenggelam. Itu artinya, bukan hanya sekadar omongan yang biasa saja, tapi ini harus ditanggapi para pemimpin di Jakarta,” imbuhnya.
“Jadi air itu harus dikelola oleh pemerintah dan ini harus direkomendasikan oleh tokoh agama untuk penguatan, sehingga gedung-gedung besar tidak seenaknya saja mengambil air tanah. Kalau itu dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan 50 tahun yang akan datang Jakarta bakal tenggelam,” sambungnya.