RN - Provinsi DKI Jakarta dengan Provinsi Jawa Barat ternyata pernah berselisih keras terkait perbatasan dua wilayah yang kala itu sama-sama dipimpin oleh tokoh nasional yang memiliki bobot, kelas, dan karakter yang sama lantaran keduanya lahir dari rahim Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kedua Kepala Daerah tersebut yakni Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin memimpin DKI Jakarta dan Mayor Jenderal TNI Solihin Gautama Purwanegara saat itu memimpin Jawa Barat. Sejarah ini diulas dan diceritakan kembali oleh Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata, Dadang Solihin melalui sambungan seluler kepada wartawan.
"Pernah pada suatu saat ketika menghadapi permasalah pemekaran wilayah, yaitu masalah perbatasan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, kedua tokoh ini terlibat dalam suatu perang tanding yang seru, perang (dalam tanda petik) para negarawan," ujar Dadang mengutip tulisan Ramadhan KH dalam buku 'Membenahi Jakarta menjadi Kota yang Manusiawi' di Jakarta, Minggu (1/8/2021).
BERITA TERKAIT :Dadang mengisahkan, Solihin GP yang saat itu belum lama diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat ingin menemui Ali Sadikin ke Jakarta. Mendapat kabar tersebut, Bang Ali merespon baik keinginan koleganya sesama Gubernur itu dan seraya memutuskan menjemput Mang Ihin, panggilan akrab Solihin GP di perbatasan wilayah Jakarta-Jabar.
Dari penentuan titik jemput itu, kata Dadang, ada pesan tersirat Bang Ali terkait hal yang akan dibahasnya saat bertemu. "Waktu Mang Ihin muncul di Gubernuran, Bang Ali menerima Mang Ihin di operation room Balaikota. Di ruangan itu sudah disiapkan peta yang masih bertirai. To the Point bang Ali bilang ke Mang Ihin 'Mang Ihin, saya akan mendasarkan penyambutan saya pada peta ini. Karena kita orang-orang praktis, harus operasional," kata Dadang menirukan kata-kata Bang Ali saat itu.
“Saya ditugaskan oleh rakyat saya untuk memenuhi kebutuhan pengembangan Jakarta. Oleh karena itu, daerah ini (Bekasi, Tangerang dan Bogor), ini dan ini harus masuk wilayah Jakarta. Toh Jawa Barat tidak bisa membangun," sambung Dadang kembali menirukan ungkapan Bang Ali.
Labih lanjut Dadang mengisahkan, mendengar pernyataan Bang Ali tersebut, seketika Mang Ihin sontak menolak permintaan Bang Ali dengan ucapan 'kalau sepotong-potong seperti maunya Bang Ali, no way. Jabar bisa membangun atau tidak, itu soal lain. Harus kira-kira dulu dong siapa gubernurnya'.
"Menurut Mang Ihin, strategi Bang Ali itu kerdil. Mang Ihin berfikir secara strategis tawaran bang Ali tidak akan membawa perkembangan yang luar biasa. Mang Ihin malah meminta Bang Ali belajar ke pengalaman nenek moyang mereka saat Galuh pindah ke Pajajaran, Bogor, karena mau menyatukan komunitas di Jawa Barat dengan Jakarta. Ke utara sampai Sunda Kelapa. Dari Bogor bisa dikuasai. Ke barat, sampai Banten. Ke timur, sampai Cirebon," ungkap Dadang.
"Mang Ihin bahkan menantang Bang Ali untuk menyatukan Jakarta dengan Jawa Barat. Bang Ali Gubernurnya. Ibukotanya Jakarta. Bandung hanya kotamadya. Baru Mang Ihin akan mengalah. Karena mang Ihin berprinsip jika strategi itu adalah siapa yang bisa berkompetisi bila potensi Jawa Barat dan Jakarta menyatu," sambungnya.
Alih-alih mendapat dukungan Mang Ihin, kata Dadang, dari cara bicara Mang Ihin jelas menandakan bahwa Mang Ihin tidak setuju dengan apa yang ditawarkan Bang Ali. Padahal, Bang Ali berkeyakinan Pembangunan akan lebih cepat jika dilaksanakan oleh DKI. 'Sekarang kita perang perbatasan' Mang Ihin sampai menyatakan sikap seperti itu," tutur Dadang.
Dadang mengungkapkan, pasca pertemuan tersebut, bahkan adu argumen terjadi bukan hanya di operation room itu saja, tapi sampai di luar gedung. Kemudian orang mengira mereka berdua sebagai dua gubernur yang berseteru dan bermusuhan. Menurut Dadang, Perundingan mereka sangat emosional.
Namun anehnya, lanjut Dadang, penolakan Mang Ihin tidak lantas membuat Bang Ali kecewa. Sebaliknya, Bang Ali menilai Mang Ihin sebagai sosok orang yang memiliki karakter sama dengan Bang Ali. Ia tidak mau kalah, ingin maju, gigih, bahkan dijadikan sparring partner yang menyenangkan buat Bang Ali.
"Dari suasana itu bisa digambarkan bahwa bang Ali meskipun tegas, terkesan keras dan tempramen, namun sangat menghargai argumentasi dan keputusan orang untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya," ucap Dadang.
Dimata Bang Ali, ujar Dadang, Mang Ihin sangat menaruh perhatian pada masalah wilayahnya. Karena Jawa Barat daerah agraris, ia memperdalam benar masalah pertanian. Sedang Bang Ali memperdalam soal industri, perdagangan, dan jasa.
Solihin GP bukan saja tidak setuju dengan perluasan wilayah Jakarta. Secara prinsip, mengubah batas wilayah Kota Bandung pun ia tidak mau. Bupati Bandung-nya pun tidak mau. Padahal ibukota-ibukota provinsi lainnya sudah diperluas.
"Bukan Bang Ali kalau menyerah, Bang Ali tetap kukuh ingin menyelesaikan soal perbatasan Jakarta dan Jabar. Apa yang sudah dikejar bang Ali mutlak harus didapat. Hemat Bang Ali agar masalah itu jangan sampai tertunda terus. Bang Ali ingin mengadakan suatu terobosan waktu itu. Tidak mau adanya perasaan khawatir, ada konflik. Dan dalam hal ini harus ada keberanian. Itu karakteristik Bang Ali," papar Dadang
Singkat cerita, kata Dadang, kesepakatan dua Gubernur itu pun tercapai. Sekalipun tidak seperti yang diinginkan oleh Bang Ali. Dadang menyebut, kesepakatan itu yakni ada pelurusan-pelurusan garis batas, yang tadinya berbelok-belok lalu diluruskan.
"Terselesaikannya batas-batas itu karena ada tekanan dari DKI. Bukan tanpa tanggung Jawab, nampak kenegarawanan Bang Ali yakni menyediakan biayanya, ruangan, rumah, dan perkantoran untuk sekretariat Jabotabek, dan lain-lainnya," katanya.
"Dari cara kedua pemimpin ini menghadapi persoalan kerakyatan, kedaulatan, kewilayahan, pembangunan dan peradaban patut dihormati, disegani bahkan diapresiasi setinggi-tingginya," pungkas Dadang.