Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co
Berat Bersaing

Duh Celaka Nih, 54 Persen Karyawan Di Negeri +62 Ternyata Kurang Gizi

NS/RN/NET | Sabtu, 10 Juli 2021
Duh Celaka Nih, 54 Persen Karyawan Di Negeri +62 Ternyata Kurang Gizi
Menko PMK Muhadjir Effendy.
-

RN - Mengejutkan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengklaim 54 persen angkatan kerja Indonesia saat ini merupakan mantan stunting atau pernah kurang gizi. 

Akibatnya, SDM Indonesia tidak optimal. Kurang gizi disebabkan karena daya ekonomi dan akhirnya menjadi mantan-mantan stunting.

"Perlu diketahui, angkatan kerja kita 54 persen adalah pernah alami stunting. Karena itulah mengapa angkatan kerja kita kualitas SDM nya tidak optimal, antara lain faktornya mereka ini mantan-mantan stunting," ujar Muhadjir dalam diskusi virtual yang disiarkan masjid kampus UGM, Sabtu (10/7/2021).

BERITA TERKAIT :
KFC Jebol Rp 557 Miliar Dan PHK Ribuan Karyawan, Apakah Dampak Boikot?
Anggaran Stunting Dibikin Bagito, Pejabat Daerah Ke Jakarta Cuma Belanja Ke Tanah Abang

Muhadjir menyatakan bisa saja dirinya juga pernah mengalami kurang gizi. Dia mengaku tidak terlalu pintar walaupun seorang profesor.

"Jangan-jangan di antara kita ini juga, termasuk saya, jangan-jangan dulu juga stunting. Makanya juga nggak bisa pintar-pintar amat. Walaupun profesor, nggak pintar-pintar amat ya, karena dulu mungkin pernah alami stunting," tuturnya.

Lebih lanjut, Muhadjir mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki target angka stunting turun hingga 14 persen pada 2024 nanti. Namun Muhadjir khawatir pandemi COVID-19 justru meningkatkan angka stunting.

Muhadjir mengungkapkan pertumbuhan seseorang ditentukan berdasarkan seribu hari awal kehidupannya. Untuk itu, kata Muhadjir, Presiden Jokowi memberi atensi khusus terhadap pendidikan usia dini.

"Seribu hari awal kehidupan menentukan sekali perjalanan setiap orang anak bangsa. Kalau gagal atau tidak optimal pertumbuhannya, intervensi berikutnya tidak terlalu bermakna," beber Muhadjir.

Sementara itu, Muhadjir mengkritik nomenklatur pendidikan dasar di Indonesia. Menurutnya, istilah sekolah rakyat lebih cocok ketimbang sekolah dasar.

"SD dan SMP sebetulnya pendidikan dasar namanya. Cuma di Indonesia nomenklaturnya agak kacau balau. Orang bilang SD sekolah dasar, seolah-olah itu pendidikan dasar. Padahal SD adalah elementary school, bukan pendidikan dasar. Makanya dulu Sekolah Rakyat, itu lebih benar daripada sekolah dasar," katanya.

"Kalau sudah SD itu pendidikan dasar. Padahal pendidikan dasar itu ya SMP, MTs. Itu pendidikan dasar. Karena pendidikan dasar, maka yang dipentingkan pendidikan karakter. Ini suatu kesalahan kita terlalu memaksakan diri untuk memburu yang tidak perlu. Aspek lain terabaikan, terutama karakter," imbuh Muhadjir.