Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Banyak Mafia Tanah, Sartifikat Palsu Beredar Di Jakarta 

NS/RN/NET | Jumat, 04 Desember 2020
Banyak Mafia Tanah, Sartifikat Palsu Beredar Di Jakarta 
Sindikat pemalsu sartifikat di Jakarta.
-

RADAR NONSTOP - Waspadalah. Saat ini banyak sartifikat tanah palsu beredar di Jakarta.

Modus operandinya para pelaku memakai jasa oknum notaris. Pelaku biasanya melakukan bujuk rayu kepada korban. 

Polda Metro Jaya membongkar mafia tanah yang memalsukan sertifikat tanah senilai Rp 6 miliar. Dari 10 pelaku yang ditangkap, dua di antaranya notaris.

BERITA TERKAIT :
Urus Sartifikat, Pengembang Ngaku Sudah Kena Pungli Jadinya Lama 
Cara Main Mafia Tanah, Dari Orang Dalam Hingga Bohir

"Ini sindikat mafia tanah, karena memang ini mereka terorganisir dengan menggunakan dokumen palsu. Kerugian korban Rp 6 miliar," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (3/12/2020).

Yusri menjelaskan kasus ini terjadi sekitar 2015-2016. Korban seorang perempuan kemudian melaporkan para pelaku ke Polda Metro Jaya pada Februari 2017 silam.

Laporan tersebut diselidiki Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Selang 3 tahun kemudian, para pelaku ditangkap polisi. "Ada 10 tersangka, tetapi dua masih DPO," kata Yusri.

Delapan tersangka yang ditangkap adalah AYS, PA, MSM, SHS, RAG, S, AA, dan NS. Sementara dua tersangka DPO adalah HG dan HAG.

Dari 6 tersangka yang ditangkap, 2 di antaranya berprofesi sebagai notaris dan PPAT, yakni SHS dan RAG.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menjelaskan modus para tersangka memperdaya korban. Korban baru menyadari setelah beberapa bulan kemudian jika kepemilikan asetnya sudah berpindah hak kepada para tersangka.

"Modus operandinya bagaimana caranya, upayanya dengan bujuk rayunya agar sertifikat itu berpindah tangan dulu. Sertifikat itu berpindah tangan kalau yang ini melalui perbankan, dari perbankan ditebus setelah ditebus kemudian ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya perpindahan hak," ujar Tubagus.

"Ada bisa (berupa) hibah, waris, jual-beli, dan karena putusan pengadilan. Nah ini berpindahnya dari satu orang ke orang lain melalui akta jual-beli," ungkapnya.

Lebih lanjut, Tubagus menjelaskan peran para notaris dan PPAT dalam kasus itu. Mereka terlibat dalam perpindahan hak aset atas korban tanpa prosedur yang seharusnya.

"Kenapa di sini banyak sekali rekan notaris, karena perpindahan hak jual-beli melalui jasa notaris. Tetapi, notaris tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam membuat akta jual-beli itu masing-masing pihak harus hadir dan ini tidak," katanya.

Para pelaku menebus sertifikat dari bank yang kemudian dipindahtangankan kepada para tersangka. Para tersangka membuat surat kuasa palsu untuk memuluskan aksinya itu.

"Diambil sertifikatnya, ditebus dari bank kemudian dipindah namakan melalui akta jual-beli pada saat melakukan akta jual-beli dibuat lah surat kuasa palsu. Ini kemudian dijual dan sebagainya dicari lah identitas orang itu yang hak kemudian dipalsukan lagi ini seolah-olah yang menghadap ini (korban) kemudian yang sudah berkeluarga, itu harus atas persetujuan suami/istri dipalsukan juga, sehingga terjadi lah perpindahan hak melalui jual beli," paparnya.

Sementara itu, Tubagus menjelaskan bahwa kasus ini terjadi memakan waktu yang cukup lama. Jadi korban pun baru menyadari belakangan setelah asetnya disita pihak bank.

"Sampai dengan si ibu yang si korban yang sudah cukup usia yang tidak mengerti apa-apa, tiba-tiba asetnya harus disita. Sementara dia tidak mendapatkan apa-apa, yang mendapatkan 6 miliar orang lain. Dan itu kadang tidak disadari karena perbankan punya cukup waktu ketika macet terus macet. Bahwa yang dipegangnya sertifikat itu sudah dipindah. Nah inilah makanya tindak pidana ini cukup memakan waktu," tandasnya.

Saat ini kedelapan tersangka ditahan di Polda Metro Jaya. Mereka dijerat dengan Pasal 263 KUHP, Pasal 378 KUHP, Pasal 372 KUHP, dan Pasal 3, 4, 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.