RADAR NONSTOP - Jumat (16/10/2020), tepat 3 tahun Anies Baswedan menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.
Lalu apa saja yang sudah dicapai mantan Mendikbud itu selama menjadi orang nomor satu di Ibu Kota? Nih 10 catatan dari Fraksi PSI di Kebon Sirih.
Setelah dilantik pada 16 Oktober 2017 lalu, Fraksi PSI mencatat 10 kemunduran selama Anies Baswedan memimpin.
BERITA TERKAIT :“Yang dimaksud kemunduran bisa berarti dua hal. Pertama, kemunduran yang dinilai dari kondisi saat ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Ketua Fraksi PSI DPRD DKI, Idris Ahmad, dalam konferensi pers virtual, Jumat (16 Oktober 2020).
Kedua, membandingkan apa yang telah dicapai dengan potensi yang dimiliki oleh Pemprov DKI.
“Perlu diingat bahwa, jika dibandingkan provinsi lainnya, DKI memiliki anggaran yang sangat besar dan mendapatkan dukungan luar biasa dari pemerintah pusat. Jangan sampai anggaran, tenaga, dan waktu terbuang sia-sia karena keliru memilih prioritas dan salah kelola birokrasi,” tambah Idris Ahmad.
Berikut 10 kemunduran menurut Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta :
1. Pembahasan anggaran terlambat, bahkan terkesan ditunda-tunda
Idris mengungkapkan pembahasan rancangan APBD 2021 sudah terlambat lebih dari 3 bulan, sehingga hanya tersisa 1,5 bulan untuk membahas puluhan ribu mata anggaran.
“RKPD 2021 sudah selesai diinput ke sistem e-budgeting, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk menunda pembahasan anggaran.” ujarnya.
2. Transparansi anggaran buruk pada saat perencanaan maupun realisasi
Pada masa kepemimpinan Anies, dokumen anggaran hanya dibuka setelah Gubernur dan DPRD selesai melakukan pembahasan dan bersepakat. Artinya, warga hanya mengetahui anggaran setelah selesai dibahas, sehingga tidak memiliki ruang untuk menyampaikan saran dan masukan.
3. Nasib commitment fee Formula E Rp 560 M masih belum jelas
Pemprov DKI telah menyetorkan commitment fee Rp360 miliar dan Rp200 miliar kepada panitia Formula E. Sementara itu, penyelenggaraan Formula E tahun 2020 dibatalkan, sedangkan untuk 2021 masih serba tidak pasti.
Namun PSI menilai belum terlihat kesungguhan niat dari Pemprov DKI untuk mengembalikan uang Rp560 miliar tersebut.
4. Prioritas anggaran tidak jelas
Di APBD 2020, Idris menjelaskan contoh buruk prioritas anggaran di Pemprov DKI dapat terlihat pada besarnya anggaran event yang mencapai Rp1,5 triliun. Hal ini termasuk Formula E yang mencapai Rp1,2 triliun.
“Bahkan, demi Formula E, Anies memotong anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing sebesar Rp455,4 miliar dan Rp320,5 miliar,” ujar Idris.
Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan light rail transit (LRT), dan infrastruktur air bersih. Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD.
5. Normalisasi sungai mandek selama 3 tahun
Program normalisasi sungai direncanakan sepanjang 33 kilometer. Hingga 2017, sudah dilakukan normalisasi sungai sepanjang 16 km. Akan tetapi, dari 2018 hingga 2020 tidak ada kegiatan normalisasi sungai.
Lalu, pada 2020 telah dilakukan pembebasan lahan saluran air 8,2 km. Kendati demikian, tidak jelas apakah pada 2021 telah dialokasikan anggaran normalisasi sungai pada lahan 8,2 km tersebut.
6. Realisasi naturalisasi sungai 0%
Pada saat kampanye pilkada, Anies menelurkan gagasan naturalisasi sungai yang dianggap sebagai solusi ideal untuk menyelesaikan masalah banjir.
Di berbagai kesempatan, misalnya yang terbaru saat rapat pembahasan penanganan banjir bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang pada 7 Juli 2020, Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti mengganti dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem.
Di sisi lain, di akun instagram pada 26 September 2020, Gubernur Anies memamerkan hasil naturalisasi sungai di Kanal Banjir Barat (KBB) segmen Sudirman-Karet. Namun, proyek ini berbeda dengan konsep yang dipaparkan Anies. Pasalnya, proyek di KBB tersebut berupa perkerasan beton untuk tempat nongkrong dan spot selfie.
“Sama sekali tidak ditemukan aspek pencegahan banjir dan perlindungan ekosistem di situ,” ujar anggota DPRD DKI F-PSI, Eneng Maliana Sari atau akrab disapa Milli.
7. Realisasi program DP 0 Rupiah hanya 0,26%
Saat awal menjabat, Anies menargetkan penyediaan 300 ribu rumah selama 5 tahun atau 60 ribu rumah per tahun. Namun, 3 tahun berselang hanya tersedia 780 rumah atau hanya 0,26% dari target. Dari angka tersebut, jumlah yang dihuni hanya 278 unit.
“PSI mempertanyakan apakah Anies benar-benar memiliki kemauan untuk menjalankan program DP 0 rupiah?” ucap Milli.
8. Pembangunan light rail transit (LRT) fase 2 masih 0%
Anggota DPRD DKI F-PSI, William Aditya Sarana, menyinggung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), pembangunan LRT direncanakan sekitar 110 km yang terbagi dalam 7 rute.
Pada masa kepemimpinan Anies, pembangunan LRT fase 2 tidak kunjung dimulai. Padahal, bisa dilihat bahwa proyek ini memiliki dasar hukum yang kuat dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda.
9. Mandeknya penyusunan Perda tata ruang, termasuk yang mengatur pulau-pulau reklamasi
Daftar perda tata ruang yang harus dibahas adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Selama 3 tahun, Anies tidak menyerahkan rancangan perda-perda tersebut. “Akibat dari mandeknya pembahasan perda-perda ini adalah mengganggu pengembangan Jakarta dan akan berdampak pada perizinan,” kata Willi.
10. Kontrak Aetra dan Palyja berakhir pada 2023, tapi belum ada persiapan untuk mengambil alih pengelolaan air bersih
Menurut Willi, sangat disayangkan bahwa Pemprov DKI maupun PAM Jaya belum melakukan inventarisasi aset, padahal waktu semakin dekat. Oleh karenanya, PSI mendesak agar Anies segera melakukan inventarisasi aset air bersih di Jakarta.