Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Polisi Tangkap Warga Kritik Jokowi Mundur Lewat Video, IPW : Polri Terlalu Paranoid

BCR/RN/Doni | Minggu, 31 Mei 2020
Polisi Tangkap Warga Kritik Jokowi Mundur Lewat Video, IPW : Polri Terlalu Paranoid
Ilustrasi
-

RADAR NONSTOP- Indonesia Police Watch (IPW) meminta Mabes Polri untuk segera membebaskan Ruslan Buton. Pasalnya, pengkritik Jokowi lewat video tersebut ditangkap di Kecamatan Wabula, Buton, Sultra, Kamis (28/5) lalu.

Menurut IPW melalui rilis media yang diterima Radarnonstop.co (Rakyat Merdeka Group) menyampaikan, apa yang dituduhkan Polri kepada Ruslan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan hanya menunjukkan sikap parno jajaran kepolisian yang tidak promoter.

Ketua Presidium IPW, Neta S Pane menilai, sebagai rakyat, Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan penyampaian aspirasi seorang rakyat dijamin oleh UUD 55. 

BERITA TERKAIT :
Tahun 2024, Pemerintah Kucurkan BOSP Rp57 Triliun, Bukti Kepedulian Jokowi Terhadap Pendidikan
Banyak Proyek Tapi Banyak Juga Utang, Ini Kata Ekonom Senior Faisal Basri 

"Polri boleh menangkap dan memeriksa Ruslan, lalu mengingatkannya untuk kemudian melepaskannya. Ruslan ditangkap di rumahnya di Kecamatan Wabula, Buton, Sultra, Kamis (28/5) lalu," terang Neta S Pane seperti rilis yang diterima wartawan.

Neta menjelaskan, penangkapan tersebut dilakukan setelah Ruslan meminta Presiden Jokowi mundur lewat video yang viral di media sosial pada 18 Mei 2020. 

Dalam video itu Ruslan menilai tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi corona sulit diterima oleh akal sehat. Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. 

Menurutnya, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Bila tidak, bukan mustahil akan terjadi gelombang gerakan revolusi rakyat.

"Akibat pernyataannya itu, Ruslan dijerat pasal berlapis. Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP.  Sehingga dia dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun," jelasnya.

Dalam penangkapan itu, IPW menilai Polri terlalu paranoid dengan mengenakan pasal-pasal tersebut terhadap Ruslan. Sehingga Polri lupa dengan kebebasan menyampaikan aspirasi yang dijamin UUD 45. 

Ruslan, kata Neta, sebatas menyatakan aspirasi dan mengingatkan serta tidak tindakan pidana ada ajakan untuk membuat tindakan pidana yang dilakukannya. 

"Sebab itu tindakannya itu belum dapat dikualifikasi sebagai sebuah tindak pidana, apalagi membuat keonaran. Begitu juga mengenai pasal informasi bohong yang disangkakan polisi terhadap Ruslan, menjadi pertanyaan, dimana bohongnya?," urainya.

Neta menegaskan, apakah dengan pernyataan Ruslan itu, Jokowi bisa serta merta berhenti jadi presiden? Tentunya tidak. Pemberhentian Presiden, sebut Neta, sudah diatur UUD 1945 dengan memenuhi lima persyaratan.

Kelima persyaratan itu yakni yang pertama jika terlibat korupsi, kedua terlibat penyuapan, ketiga pengkhianatan terhadap negara, keempat melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun, dan kelima kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi. 

Di luar itu, membuat kebijakan apapun, Jokowi tidak bisa diberhentikan di tengah jalan, apalagi hanya membuat kebijakan mengatasi Covid-19. Jadi, jika Polri terlalu parno terhadap pernyataan Ruslan, Polri bisa saja memanggil, menangkap, dan memeriksanya. Tapi kemudian membebaskannya, setelah menasehati atau mengingatkan Ruslan," ungkap Neta.

IPW berharap, aparat kepolisian untuk tidak mengkhawatirkan pernyataan Ruslan. Sebab dalam konteks menyampaikan aspirasi, penangkapan itu menjadi kurang relevan dikualifikasi sebagai tindak pidana, dan hanya menunjukkan arogansi serta superioritas Polri yang tidak promoter.