RADAR NONSTOP - Sidang Meikarta terus berlanjut. Dalam sidang kali ini terungkap fakta baru.
Persidangan kasus suap Meikarta dengan terdakwa Iwa Karniwa, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Jabar digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan RE Martadinata, Senin (3/2/2020).
Tim jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat saksi. Antara lain, mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan atau Aher, Deddy Mizwar atau Demiz (mantan Wakil Gubernur Jabar).
BERITA TERKAIT :Kemudian, Neneng Hasanah Yasin, mantan Bupati Bekasi, dan Muhammad Idrus, mantan tim sukses (timses) Aher saat Pilgub Jabar.
Salah satu fakta baru diungkap oleh Muhammad Idrus yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan itu. Idrus mengaku pernah diminta oleh Billy Sindoro, salah seorang pejabat di PT Lippo Cikarang, untuk menyampaikan kepada Aher agar membantu proses perizinan Meikarta.
Namun, ujar Idrus, permintaan Billy yang disampaikannya ke Aher tersebut tak membuahkan hasil. Pasalnya Aher tegas menyatakan, izin pembangunan Meikarta yang terdapat dalam Raperda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi harus diselesaikan dengan sesuai prosedur.
"Saya menyampaikan, ada pihak Lippo menyampaikan tentang rekomendasi (izin substansi RDTR). Terus katanya (Aher) ikuti saja sesuai prosedur," kata M Idrus.
Diketahui, Billy Sindoro, mantan pejabat PT Lippo Cikarang saat ini mendekam di lembaga pemasyarakatan (lapas). Dia terpidana kasus suap perizinan Meikarta yang berperan sebagai pemberi suap.
Idrus mengaku mengenal Billy karena dikenalkan oleh temanya yang juga bekerja di Lippo. Billy lantas meminta Idrus menjadi penyambung lidah karena dekat dengan Aher. "Beliau (Billy) menelepon saya, katanya Lippo ada permasalahan, bisa ditanyakan (ke Aher) gak apa permasalahnnya," ujar Idrus.
Sementara itu, Aher yang juga hadir sebagai saksi mengatakan, saat itu Pemprov Jabar tak memperlambat atau mempercepat proses suatu perizinan. Selama hal tersebut sesuai prosedur, perizinan akan lancar.
"Prinsip kami kan tidak boleh menahan perizinan dan rekomendasi sesuai aturan yang berlaku. Tentunya saat sesuai aturan, sesuai dengan kepentingan lingkungan, kalau sesuai tidak ada keberatan," kata Aher.
Bahkan Aher mengaku karena alasan subyektif akhirnya mencopot Iwa Karniwa dari jabatannya sebagai Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jabar. Semula BKPRD Jabar dijabat Iwa Karniwa sejak 2010 hingga 2017. BKPRD Jabar dibentuk melalui keputusan gubernur.
"Kemudian pada 2017, saya mengganti Ketua BKPRD Jabar dari pak Iwa jadi Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar. Ada alasan subyektif dibalik penggantian tersebut," kata Aher.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membacakan keterangan Ahmad Heryawan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ihwal pencopotan Iwa Karniwa sebagai Ketua BKPRD Jabar.
"Saya bacakan keterangan bapak Ahmad Heryawan di BAP. 'Karena pertimbangan integritas politik pak Iwa Karniwa tidak ditunjuk Ketua BKPRD Jabar karena disinyalir sudah terlibat kampanye pencalonan untuk Pilkada Jabar. Sinyal pencalonan pak Iwa semakin terang dengan adanya spanduk di berbagai tempat,'" ucap jaksa membacakan keterangan Aher di BAP penyidik.
Aher yang duduk di kursi saksi membenarkan keterangannya di BAP. "Iya benar memang itu salah satu alasan subyektif saya mengganti pak Iwa ke pak Deddy Mizwar sebagai Ketua BKPRD Jabar. Meskipun sejak pak Iwa menjabat Ketua BKPRD Jabar tidak ada masalah lainnya," tutur Aher.
Sementara itu, Neneng Hasanah Yasin, mantan Bupati Bekasi menyebut Iwa Karniwa meminta uang tambahan untuk menerbitkan izin subtantif Raperda RDTR Kabupaten Bekasi terkait Meikarta.
Nneneg, dipidana enam tahun penjara kasus suap Meikarta ini, mengatakan, mendapat laporan dari Neneng Rahmi Nurlaili yang saat itu menjabat Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi. M
Neneng meminta agar mencari alternatif lain karena Iwa meminta uang lebih. "Katanya ada bahasa minta lebih," ujar Neneng.
Iwa Karniwa menjadi terdakwa atas dugaan suap Rp900 juta yang menjeratnya. Dalam kasus ini, Iwa diduga memiliki peran sebagai penghubung agar Pemkab Bekasi bisa mendapat persetujuan substantif dari Gubernur Jawa Barat atas Raperda RDTR Kabupaten Bekasi.
Neneng Hassanah sendiri diketahui tidak memiliki keterkaitan langsung dengan Iwa terkait suap menyuap izin Meikarta. Yang berkaitan langsung dengan Iwa adalah Neneg Rahmi, Henry Lincoln (Sekretaris Dinas PUPR), Waras Wasisto (anggota DPRD Jabar Fraksi PDIP), dan Soleman alias Leman (anggota DPRD Kabupaten Bekas Fraksi PDIP).
Pada akhirnya, Neneng Hassanah meminta Neneng Rahmi untuk mencari alternatif selain Iwa Karniwa. Karena selain diduga meminta uang lebih, draf persetujuan substansi RDTR tak kunjung disetujui oleh Gubernur Jabar saat itu, Ahmad Heryawan.
Neneng Hassanah mengaku mengetahui bahwa Iwa Karniwa meminta uang Rp1 miliar sebagai ongkos persetujuan RDTR tersebut. Uang tersebut diketahui berasal dari PT Lippo Cikarang untuk pengurusan RDTR Pemkab Bekasi. “Neneng (Rahmi) pernah ngomong yang bantu urus pak Iwa. Untuk pengurusan pak Iwa minta Rp1 miliar,” ujar Neneng.
Sementara itu, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menyebut tidak kunjung menyetujui draf substansi RDTR karena masih perlu revisi.
Menurut Demiz saat itu Pemkab Bekasi belum memiliki pengganti lain atas alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman.
"Itu disebutkan kawasan pertanian yang akan dialihfungsikan menjadi perumahan, tetapi saya tidak tahu itu Meikarta. Kami hanya sekali rapat tentang RDTR Bekasi," kata Deddy.
Sementara itu, Leman dan Waras sudah berulang kali dipanggil KPK. Bahkan, kedua politisi PDIP itu membantah terlibat dalam kasus dugaan suap.