RADAR NONSTOP - Pemilihan kepala daerah (pilkada) bakal dihapus. Evaluasi ini karena banyaknya kepala daerah terjerat korupsi oleh KPK.
Diketahui, pilkada sudah berjalan 20 tahun. Pilkada diyakini mampu mendongkrak perekonomian rakyat daerah.
Soal kepala daerah banyak dicolok KPK sebaiknya itu ada pada parpol yang harus menyeleksi ketat calon kepala daerah. Jangan ada lagi istilah gak ada duit tak dapat tiket dukungan.
BERITA TERKAIT :Sebagai bagian dari demokrasi, parpol bertanggung jawab menciptakan kepala daerah yang bersih, cerdas dan peduli rakyat serta bebas korupsi. Di 2020, akan ada 270 pilkada di berbagai daerah.
Sepanjang 2004-2019, KPK telah memproses pidana 114 kepala daerah, yakni 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 wali kota. Jumlah ini belum termasuk kepala daerah yang diperiksa KPK.
Kebanyakan perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah berupa suap dan gratifikasi. Berdasarkan data, ada 81 kasus suap dan gratifikasi selama 2004-2019. Perkara korupsi lain yang juga banyak adalah penyalahgunaan anggaran dan pengadaan barang/jasa, masing-masing sebanyak 27 dan 13 perkara.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempertanyakan sistem pilkada langsung. Dia menilai sistem pemilu itu menimbulkan dampak negatif, yakni biaya politik yang tinggi.
"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipan demokrasi meningkat. Tapi juga kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ujar Tito di kompleks parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).
Tito menyebut pembiayaan politik yang tinggi itu berpotensi memunculkan peluang korupsi. Sebab, menurutnya, untuk menjadi kepala daerah atau wali kota dibutuhkan uang yang tidak sedikit.
Menurut Tito, sistem politik pilkada langsung yang sudah berjalan selama 20 tahun belakangan ini perlu dievaluasi. Dia menuturkan sistem tersebut bermanfaat bagi partisipasi demokrasi, tetapi juga memiliki sisi negatif.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati mana berani dia," kata Tito.