RADAR NONSTOP - Penerapan harga plastik Rp200 menjadi sorotan. Emak-emak memptrotes dan terlihat emosi saat diharuskan bayar plastik.
"Kalau saya belanja banyak, terus kena Rp200 satu plastik. Kalau 10 plastik sudah Rp2.000," keluh Ani saat ditemui di pusat belanja di kawasan Lebak Bulus, Jaksel, Minggu (3/3).
Ibu tiga anak ini sempat tegang dengan petugas kasir. "Saya tidak mau bayar mau apa kamu," sindirnya.
BERITA TERKAIT :Tapi petugas kasir ngotot Ani harus membayar. "Kalau tidak mau ibu tenteng saja belanjaan ini," ungkapnya.
Kesal mendapat perlakuan itu, Ani yang tinggal di kawasan Pondok Pinang, Jaksel langsung meninggalkan kasir. "Saya tak mau bayar plastik. Dan belanjaan ini saya gak jadi," tukasnya sambil pergi ke luar gedung.
Diketahui, pemerintah sedang melakukan pengaturan plastik. Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) lalu memberlakukan plastik berbayar.
Berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan pengurangan sampah sebesar 20 persen dengan yang tertangani sebesar 75 persen pada tahun ini. Sementara dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 97 tahun 2017, target pengurangan sampah nasional sebesar 30 persen dengan yang tertangani sebesar 70 persen pada 2025 nanti.
Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan menilai, penerapan plastik berbayar sebesar Rp 200-Rp 500 kurang tepat dan tidak akan efektif. Sebab, kata dia, selain akan membebankan konsumen saat berbelanja, masyarakat juga belum tentu dapat teredukasi dengan inisiatif penerapan tersebut.
“Sebenarnya yang lebih berdampak itu harusnya ada sistem dan edukasi tentang reuse dan recycle sampah plastik,” katanya.
Oleh karena itu pihaknya mendorong pemerintah membentuk gerakan bersih bebas sampah yang proaktif di jalan-jalan ataupun di setiap sudut wilayah yang memiliki banyak timbulan sampah. Di sisi lain, penerapan wacana cukai plastik juga belum tentu berdampak terhadap pengurangan sampah yang ada.