RN – Kalimalang kembali jadi trending, bukan karena lalu lintasnya lancar, tapi karena jalanan berubah jadi arena gladiator dadakan. Warga Jatinegara, Jakarta Timur, resah bukan main, bukan karena banjir, tapi karena ban remaja yang melaju sambil bawa celurit.
Setiap malam Minggu, kawasan Jalan Raya Laksamana Malahayati berubah wajah, dari jalur sibuk jadi gelanggang tawuran. Pedagang kecil seperti Roni (50) mengaku sudah hapal polanya.
“Kalau malam Minggu, pasti ada yang nongkrong, minum, terus ujung-ujungnya ribut,” keluhnya, menutup warung lebih cepat demi selamat dari lemparan batu dan sabetan logika yang semakin tumpul.
BERITA TERKAIT :Sabtu malam (1/11), keributan kembali pecah. Puluhan remaja saling serang di tengah jalan, membawa batu, kayu, dan senjata tajam seolah sedang audisi film laga tanpa izin tayang. Suara petasan dan teriakan memecah udara Kalimalang, membuat pengendara panik, berhenti, bahkan berbalik arah. Kota megapolitan pun sekejap jadi arena perang antar-ego remaja.
Video tawuran itu cepat viral. Belum jelas apa pemicunya, tapi rumor di warga menyebut semuanya bermula dari saling ejek di media sosial. Dari notifikasi ke konfrontasi, dari mention ke lemparan batu. Dunia digital rupanya makin nyata di jalanan.
Sementara warga memilih sembunyi di balik pintu, aparat datang untuk membubarkan keributan—selalu setelah semuanya berantakan. Satu orang dilaporkan luka akibat lemparan batu, dan seperti biasa, kasus masih dalam penyelidikan.
Sahroni mengaku lelah hidup dalam ketakutan yang jadi rutinitas. “Kami maunya Kalimalang aman. Kalau malam, orang cuma pengin dagang, bukan lari menyelamatkan diri,” katanya.
Masalahnya, siapa yang mau menjamin keamanan kalau tawuran sudah jadi tontonan rutin, bukan kejadian darurat? Polisi katanya akan tingkatkan patroli malam, tapi warga tahu, patroli datang seperti hujan di musim kemarau: ditunggu, tapi jarang tiba tepat waktu.
Fenomena ini lebih dari sekadar tawuran, ini cermin. Cermin kota yang makin ramai tapi makin sunyi dari rasa aman. Di antara lampu jalan yang redup, anak-anak muda tumbuh tanpa arah, mencari eksistensi lewat kekerasan yang disiarkan lewat ponsel.