RN – Badai PHK tampaknya belum mau hengkang dari langit industri Indonesia. Setelah gelombang datang dari startup, kini giliran pabrik ban kelas dunia yang ikut ‘kempes’. PT Multistrada Arah Sarana Tbk, produsen ban merek global Michelin, dikabarkan menendang keluar lebih dari 200 pekerjanya.
Katanya sih demi efisiensi, tapi buat para buruh, alasan itu terdengar seperti ‘ban cadangan’ yang dipakai saat perusahaan mulai oleng.
Presiden KSPI, Said Iqbal, membocorkan kabar ini lewat surat resmi dari serikat pekerja di pabrik tersebut. Surat yang keluar 28 Oktober 2025 itu menolak keras rencana PHK massal. Alasannya sederhana: aturan perusahaan dan undang-undang tidak mengenal istilah dipecat karena performa kempes.
BERITA TERKAIT :“Perusahaan beralasan kinerja rendah dan pasar lesu, tapi dalam PKB tak ada pasal yang bilang ‘boleh pecat kalau order sepi’,” ujar Ketua Serikat Pekerja, Guntoro, seolah ingin mengingatkan bahwa roda hukum pun butuh keseimbangan, bukan hanya tekanan pasar.
Manajemen Michelin berkilah, langkah ini dilakukan demi menyelamatkan bisnis dari kebangkrutan akibat penurunan permintaan global. Logikanya, lebih baik ban yang bocor ditambal lebih cepat daripada menunggu meledak. Sayangnya, ‘tambalan’ kali ini adalah ratusan pekerja yang harus dikorbankan.
Kemenperin pun ikut turun tangan, meminta klarifikasi langsung ke pihak Michelin. Dalam bahasa diplomatik khas pejabat, mereka menegaskan bahwa segala proses PHK harus mematuhi hukum dan menjamin hak pekerja. Sementara dari sisi Michelin, pernyataannya terdengar seperti template PR korporat yang penuh empati dan rasa kemanusiaan.
“Kami tetap menghormati setiap individu dan memberikan kompensasi yang layak,” ujar Corporate Communication Manager Michelin Indonesia, Monika Rensina.
Kemenperin mengaku sudah menyiapkan program reskilling dan upskilling bagi para korban PHK, semacam plester untuk luka industri yang makin sering berdarah. Namun, bagi para buruh, plester itu tak menutup kenyataan pahit, ketika perusahaan besar bicara efisiensi, yang pertama disusutkan selalu tenaga manusia, bukan keuntungan manajemen.
Ironisnya, pabrik yang dulunya jadi kebanggaan ekspor ke Amerika Serikat kini malah mengekspor kesedihan ke rumah-rumah buruh di Cikarang.
Ban boleh terus berputar, tapi nasib sebagian pekerja kini malah terguling di jalan perubahan industri.