RN - Di tengah gegap gempita digitalisasi dan jargon transformasi ekonomi, ada kenyataan pahit yang tak masuk dalam presentasi PowerPoint para pejabat, rakyat kehilangan Rp7 triliun hanya dalam waktu kurang dari setahun. Dari November 2024 hingga Oktober 2025, penipuan keuangan digital atau scam menjelma jadi pandemi baru menyebar lebih cepat dari literasi finansial, dan menelan lebih banyak korban daripada yang berani bicara.
Angka itu bukan sekadar statistik, tapi cermin betapa rapuhnya benteng perlindungan keuangan publik di tengah euforia teknologi finansial.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan, laporan kerugian tersebut berasal dari lebih dari 299 ribu aduan masyarakat yang diterima Indonesia Anti-Scam Centre (IASC). Dari jumlah itu, 487 ribu rekening terlibat, dan baru 94 ribu di antaranya berhasil diblokir, menyelamatkan dana Rp376,8 miliar, hanya sekitar 5 persen dari total kerugian.
BERITA TERKAIT :Sisanya? Hilang tanpa jejak, bersama rasa percaya publik terhadap dunia keuangan digital.
“Modus penipuan semakin canggih, mulai dari fake call, phishing, hingga investasi bodong dengan janji manis tanpa risiko,” jelas Friderica dalam diskusi, Sabtu (18/10).
Yang membuat miris, banyak korban datang dari kalangan pekerja dan ibu rumah tangga, mereka yang hanya ingin “menambah penghasilan” tapi malah kehilangan tabungan hidupnya. Di sisi lain, aparat dan regulator terus dikejar waktu, menambal lubang baru di ekosistem yang terus berubah.
OJK melalui Satgas PASTI dan IASC memang sudah berusaha keras. Lebih dari 4.400 situs, aplikasi, dan konten ilegal diblokir, bersama ribuan rekening dan nomor telepon penipu. Tapi seperti permainan tanpa akhir, setiap situs ditutup, dua situs baru muncul menggantikannya.
Dalam periode yang sama, 1.840 entitas keuangan ilegal berhasil dihentikan, 1.556 pinjol bodong dan 284 investasi palsu. Tapi jika scam masih bisa menelan Rp7 triliun, jelas ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar “pemblokiran akun.”
Friderica menegaskan, bahwa OJK tak hanya menindak, tapi juga terus mengedukasi masyarakat agar tidak jadi korban berikutnya. Namun di era ketika “keuntungan cepat” lebih populer dari “literasi finansial”, edukasi sering kalah oleh iming-iming kaya mendadak.
“Kalau ada yang menjanjikan keuntungan tinggi tanpa risiko, hampir pasti itu penipuan,” ucapnya.
Dengan 38 ribu pengaduan masyarakat sepanjang 2025, 37 persen dari sektor fintech dan 38 persen dari perbankan, jelas bahwa masalahnya bukan hanya di pelaku kejahatan, tapi juga pada budaya finansial kita yang masih rentan percaya pada mimpi cepat kaya di dunia serba instan.