Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Keracunan MBG, Kuota Dapur Elit Politik Dan Merusak Program Prabowo?

RN/NS | Rabu, 01 Oktober 2025
Keracunan MBG, Kuota Dapur Elit Politik Dan Merusak Program Prabowo?
Prabowo saat sidak MBG dan dialog dengan para siswa.
-

RN - Sudah tiga pekan pasca demo rusuh 25-29 Agustus, berita keracunan mendadak muncul. Hampir semua daerah terjadi keracunan program unggulan Presiden Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis (MBG).

Per akhir September 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat mencatat sekitar 8.649 anak menjadi korban keracunan MBG hingga 27 September 2025. Peningkatan tertinggi terjadi pada pekan 22-27 September dengan 2.197 korban.

Data versi pemerintah yang dihimpun Badan Gizi Nasional, Kementerian Kesehatan, serta BPOM mencatat jumlah total korban berada di kisaran 5 ribu orang.

BERITA TERKAIT :
Keracunan MBG Di Jakarta, Makan Mie Goreng Bau Busuk & Perut Mual 

Prabowo menyebut kesalahan atau kekurangan pelaksanaan program MBG di seluruh Indonesia hanya 0,00017 persen saja. Pernyataan itu disampaikan Prabowo dalam pidatonya dalam penutupan Munas ke-VI PKS di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (29/9).

Prabowo mengatakan sampai saat ini program MBG telah diterima kurang lebih 30 juta penerima manfaat baik siswa maupun ibu hamil. Tapi Prabowo tak menutup mata pelaksanaannya program MBG masih memiliki kekurangan dan belum sempurna, termasuk soal kasus-kasus keracunan makanan.

Akan tetapi, ia mengklaim jumlahnya sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan keseluruhan penerima manfaat. Prabowo juga menginstruksikan agar Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bermasalah ditutup sementara. 

Atas intruksi Prabowo, Badan Gizi Nasional (BGN) sudah menonaktifkan sementara 56 SPPG MBG.

SPPG yang dinonaktifkan termasuk di antaranya SPPG Bandung Barat Cipongkor Cijambu, SPPG Bandung Barat Cipongkor Neglasari, SPPG Bandung Barat Cihampelas Mekarmukti, serta SPPG Banggai Kepulauan Tinangkung (Sulawesi Tengah).

Nanik menambahkan, puluhan SPPG yang dinonaktifkan kini masih menunggu hasil uji laboratorium yang tengah dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Insiden Atau Sengaja?

Bakteri menjadi biang kerok keracunan MBG. Pembagian makanan dalam jumlah besar tentunya tidak ada yang sempurna. 

Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menegaskan, keracunan makanan tentu terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak hanya dihubungkan dengan program MBG.

Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan.

Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

"Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar," ujar Tjandra.

Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten ("Persistent organic pollutants - POPs") seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

"Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja," kata Tjandra.

Masalah MBG

Ombudsman R mengungkap terdapat delapan masalah utama dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan permasalahan ini sebagai hasil kajian cepat yang dilakukan usai heboh kasus keracunan pada program tersebut.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkap masalah pertama yang ditemukan terdapat kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian. Dalam data yang dihimpun oleh Ombudsman RI, realisasi penerima MBG baru mencapai 22,7 juta orang dari target 82,9 juta penerima hingga 2025.

Kemudian, dari target sekitar 30.000 SPPG, baru terealisasi sekitar 8.450 unit yang telah beroperasi atau sekitar 27%. Sementara serapan anggaran telah mencapai sekitar Rp 13 triliun atau 18,3%.

Masalah kedua, maraknya kasus keracunan masal yang terjadi di berbagai daerah. Ombudsman mencatat sejak Januari hingga September 2025, telah terjadi sekitar 34 kejadian luar biasa keracunan dengan ribuan korban mayoritas anak sekolah.

Ketiga, terdapat permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan. Dalam hal ini, Yeka menyebutkan terdapat yayasan atau SPPG yang terafiliasi dengan elit politik.

Keempat, keterbatasan dan pemetaan sumber daya manusia termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan. Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas.

"Keenam, penerapan standar pengelolaan makanan yang belum konsisten. Ketujuh, distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah. Dan kedelapan, sistem pengawasan yang belum terintegrasi masih bersifat reaktif dan belum sepenuhnya berbasiskan data," jelasnya.

Atas temuan kedelapan masalah tersebut, Ombudsman mengungkap terdapat empat potensi maladministrasi utama dalam penyelenggaraan program MBG.

1. Penundaan Berlarut: Terlihat pada proses verifikasi mitra yang berjalan tanpa kepastian waktu serta keterlambatan pencairan honorarium bagi staf lapangan.

2. Diskriminasi: Tercermin dari potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik yang menimbulkan risiko konflik kepentingan dalam penetapan mitra.

3. Tidak Kompeten: Ketidakmampuan atau lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP, ditunjukkan oleh dapur yang tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sehingga investigasi insiden keracunan menjadi terkendala.

4. Penyimpangan Prosedur dalam Pengadaan Bahan: Seperti kasus di Bogor ketika beras medium dengan kadar patah lebih dari 15% diterima meskipun kontrak menyebut beras premium, serta temuan distribusi sayuran busuk dan lauk yang tidak lengkap di sejumlah daerah.

Jatah Elit Politik (DPR)

Pepatah tidak ada teman dalam politik harus menjadi cambuk Badan Gizi Nasional (BGN). Sebab, pertemanan politik hanya terjadi di atas kepentingan.

Soal isu adanya elit politik dan DPR mendapatkan kuota dapur MBG memang santer. Staf-staf DPR bahkan rame-rame mencari lahan yang akan disewakan untuk dapur MBG. 

Soal politik sudah disinggung Anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago. Dia mewanti-wanti adanya sosok yang menguasai kuota penyedia MBG.

Hal itu disampaikan Irma mengenai masifnya keracunan karena program MBG. Pihak Badan Gizi Nasional (BGN) tak menampik adanya anggota DPR yang jadi pemilik dapur MBG.

"Saya kira begini, kalau menurut saya soal itu kan politis ya, kalau saya nggak mau masuk di sisi politis, karena saya tahu persis kok yang sebetulnya yang menguasai kuota itu siapa," kata Irma kepada wartawan, Senin (29/9/2025).

Irma enggan menyebut sosok yang disebutnya menguasai kuota penyediaan MBG itu. Irma hanya berpesan BGN melaksanakan perbaikan total supaya MBG tak lagi bermasalah.

Irma menyinggung kasus dapur MBG fiktif yang pernah terjadi. Irma mensinyalkan hal itu bisa terjadi karena ada aroma politik di balik pelaksanaan MBG.

"Saya kan pernah ngomong yang kuota fiktif. Saya pernah ngomong kuota fiktif SPPG. Saya pernah bicara itu. Harusnya itu dimaknai dan harus dilakukan perubahan," ujar Irma.

Irma mengendus tak maksimalnya penindakan atas kabar dapur fiktif MBG itu karena faktor politik.

Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang juga pernah menyinggung soal elit politik. Nanik bahkan sempat menangis. Dengan cucuran air mata, dia kesal dengan pola dan gaya politisi.

Nanik menyebut ada politikus yang meminta proyek menggarap dapur MBG. Dia mengaku kesal dengan politikus tersebut lantaran bukan membantu mengatasi kasus keracunan massal, malah meminta proyek dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

"Ada yang WA saya, Mba nyenyenyenye, saya jawab: Kamu politikus bukannya bantu saya, bagaimana mengomunikasikan soal keracunan malah minta dapur," ucap Nanik di konferensi pers, Jakarta, Jumat (26/9).