RN - PLN ternyata ruwet. Hal ini berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).
BPK juga menyoroti permasalahan di 11 Badan usaha Milik Negara (BUMN) serta anak perusahaan.
Hal itu disampaikan Ketua BPK RI Isma Yatun saat menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023 (atau IHPS I 2023) dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (5/12/2023).
BERITA TERKAIT :Dia menuturkan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dalam IHPS I Tahun 2023 diantaranya atas pendapatan, biaya, dan investasi pada 11 BUMN atau anak perusahaannya.
“Dengan permasalahan signifikan antara lain pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas [PJBG] tidak didukung mitigasi risiko dan jaminan yang memadai,” ujar Isma Yatun dikutip, Selasa (5/12/2023).
Lebih lanjut, BPK menyoroti persoalan tarif layanan khusus sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium belum sepenuhnya diterapkan oleh PT PLN.
Menurutnya, tarif yang dikenakan PLN saat ini menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium.
“Hal itu mengakibatkan PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp5,69 triliun pada uji petik tahun 2021,” imbuhnya.
Dia mengatakan IHPS ini juga memuat dua hasil pemeriksaan kinerja, yang terdiri atas satu objek pemeriksaan pemerintah pusat dan satu objek pemeriksaan BUMN, dengan tema prioritas nasional penguatan ketahanan ekonomi.
Pemeriksaan kinerja tersebut antara lain pengelolaan batu bara, gas bumi, dan energi terbarukan dalam pengembangan sektor ketenagalistrikan untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi TA 2020 hingga semester I 2022 pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa Pemerintah telah melakukan di antaranya menyusun road map menuju Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 dan mengamankan pasokan batu bara dan gas bumi untuk kepentingan dalam negeri, antara lain berupa kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara dan alokasi gas bumi.
Namun, lanjutnya, masih terdapat permasalahan yang dapat memengaruhi capaian pemerintah tersebut secara signifikan. Antara lain, belum dilakukan sepenuhnya mitigasi risiko atas skenario transisi energi menuju NZE pada tahun 2060.
Isma Yatun mengungkapkan adanya 9.261 temuan yang berpotensi membuat negara rugi hingga Rp18,19 triliun. Temuan tersebut termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023, yang berisi ringkasan dari 705 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri atas 681 LHP Keuangan, 2 LHP Kinerja, dan 22 LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT).
"LHP tersebut mengungkapkan kelemahan sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, serta ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E) dengan nilai keseluruhan sebesar Rp18,19 triliun," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-10, Selasa (5/12/2023).
Secara perinci, hasil pemeriksaan dari 9.261 temuan tersebut memuat 15.689 permasalahan sebesar Rp18,19 triliun, meliputi 7.006 (44,6%) permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).
Selain itu, terdapat 57 (0,4%) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp1,27 triliun. Terbanyak, permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mencapai 8.626 (55,0%) temuan dengan nilai Rp16,92 triliun. Dari nilai Rp16,92 triliun, dua klasifikasi temuan dengan nilai terbesar adalah potensi kerugian sebesar Rp7,43 triliun dan kekurangan penerimaan sebesar Rp6,01 triliun.
Sementara kerugian tercatat senilai Rp3,48 triliun dari 4.100 permasalahan ketidakpatuhan. Dari seluruh hasil temuan tersebut, BPK telah memberikan rekomendasi berupa penyerahan aset dan atau penyetoran uang atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasilnya, pada saat pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti dengan penyerahan aset dan/atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp852,82 miliar.