RADAR NONSTOP - Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam membantah pernyataan Kementerian Keuangan, melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi yang mengatakan utang dimiliki Pemerintah termasuk kategori produktif karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
“Pernyataan tersebut merupakan upaya penyesatan logika masyarakat, karena utang Pemerintah akan tercatat secara terpusat sebagai pembiayaan Pemerintah, yang nantinya akan dipakai untuk semua pos belanja” demikian disampaikan Ecky kepada wartawan Minggu (6/1/2019 di Jakarta.
Ecky menjelaskan, “Utang dalam negeri Pemerintah tidak bersifat spesifik untuk satu pos belanja tertentu seperti infrastruktur, pembiayaan digunakan untuk menutup defisit, dimana pos belanjanya merupakan akumulasi dari semua pos belanja. Masyarakat perlu diedukasi bahwa justru pos belanja pegawai dan belanja barang tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan belanja modal”.
BERITA TERKAIT :“Semenjak 2014, pos belanja pegawai dan belanja barang telah tumbuh sebesar berturut-turut 49,7% dan 92%, sedangkan belanja modal hanya tumbuh 37%, jadi dari sisi mana bisa diklaim produktif” tambahnya.
Ecky mengatakan “Justru utang Pemerintah bisa membengkak akibat adanya mismanajemen anggaran Pemerintah, terutama pada tahun 2015 dan 2016”.
“Target penerimaan yang tidak realistis menyebabkan Pemerintah harus menambah utang untuk menutup shortfall tersebut, sehingga pada akhir tahunnya realisasi defisit Indonesia membengkak, contohnya 2015 yang bertambah sebesar Rp 76 Trilun dan 2016 yang bertambah Rp 35 Triliun”. Ujar Aleg asal Jabar ini.
Ecky melanjutkan, “Kedua defisit itu terjadi karena mismanajemen, jadi bersifat tidak terencana, yang pada akhirnya akan memiliki efek minimum bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, di titik ini justru rakyat dirugikan”.
“Defisit yang tidak terencana tersebut justru merugikan, terutama karena akhirnya tidak dapat terserap secara optimal, hal ini terlihat dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) pada tahun 2015 dan 2016 yang mencapai Rp 24 Triliun dan Rp 26 Triliun. Silpa ini justru merugikan, karena artinya Pemerintah berutang tetapi tidak digunakan dan sudah menanggung beban bunga yang ada” tutup Ecky.