RN – Seluruh mata dunia akan terfokus ke Indonesia dikarenakan pada 15-16 November 2022 akan menjadi tuan rumah Konfrensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (G20) di Nusa Dua, Bali.
Ketua Umum DPP Barisan Pemuda Nusantara (Bapera), Fahd El Fouz A Rafiq mengingatkan pada forum kali inilah bisa dipastikan masa depan dunia 10-20 tahun ke depan akan ditentukan.
G20 yang memiliki tema 'Recover Together, Recover Stronger' atau 'Pulih Bersama, Bangkit Perkasa'. Dengan tema tersebut diharapkan kondisi Dunia khususnya diharapkan bisa kembali pulih dan bisa bangkit seperti sedia kala.
BERITA TERKAIT :"Edisi G20 kali ini adalah yang paling menegangkan karena bertemunya seluruh negara besar dunia abad 21 yang visinya sering bergesekan sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa pada perekonomian, perdamaian, iklim dan isu lain," ujar Fahd.
Di sisi lain, lanjut dia, Presiden Jokowi juga berharap Indonesia pada tahun 2045 adalah era keemasan Indonesia yang benar-benar terwujud. Dan, di tahun 2030 ekonomi Indonesia maju.
"Jika melihat kaca mata dari negara luar hal tersebut merupakan ambisi yang tinggi, akan tetapi itu satu resonasi dengan masyarakat Indonesia. Seperti kita ketahui bersama masa depan Indonesia sangat tergantung pada lingkungan ekonomi global yang stabil dan hal itu di luar kendali Bapak Presiden Joko Widodo," terangnya.
Mantan Ketum DPP KNPI ini menyebutkan setidaknya ada tiga tema yang akan dibahas pada forum G20 di Bali yaitu soal penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital dan transisi menuju energi yang berkelanjutan. Momentum ini, menurut Fahd, menjadi kesempatan yang paling tepat, khususnya untuk negara berkembang untuk memperjuangkan aspirasi, serta merasakan manfaat dari kerja sama anggota G20.
Fahd menjabarkan alasan KTT G20 ini berbeda dari sebelumnya. Karena negara yang memiliki G20 saat ini terlibat langsung dalam konflik seperti NATO, BRICS dan negara yang sedang sedang berperang khususnya di Ukraina, telah jelas menyatakan sikapnya.
"Apakah akan memanas pada pertemuan kali ini?" imbuhnya.
Ia melihat tantangan terbesar bagi G20 adalah membawa para pemimpin yang berbeda geopolitik, bersama-sama untuk menemukan titik temu dan solusi untuk krisis jangan pendek dan jangka panjang.
"Khususnya soal perang Rusia-Ukraina, ketegangan AS-China yang meningkat, inflasi yang melonjak, ancaman resesi global yang terus membayangi, ancaman nuklir dari Korea Utara, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan dari semuanya, bumi yang memanas dengan cepat," paparnya.
Amerika dan China hampir di setiap masalah besar selalu bersebrangan mulai dari Taiwan, perang di Ukraina, Korea Utara, transfer teknologi hingga bentuk tatanan dunia.
Joe Biden hanya ingin mendapatkan pemahaman yang lebih detail dan jelas dari Xi Jin Ping.
Biden juga ingin KTT G20 sebagai pembangun landasan bagi hubungannya dengan China dan mencegah jatuh ke dalam konflik terbuka.
Persaingan dagang kedua negara itu sudah masuk tahap konfrontasi yang hampir total di segala lini. "Kemungkinannya untuk mengantisipasi masalah utama tidak seutuhnya akan diklarifikasi. Sekali lagi Amerika hanya ingin tahu motif China, begitu juga sebaliknya," jelasnya.
Bagi poros Beijing tidak ada garis merah yang lebih mencolok atau lebih penting daripada klaimnya atas Taiwan, sebuah pemerintahan sendiri yang tidak pernah dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok.
Xi memandang saatnya sekarang untuk penyatuan kembali karena hal tersebut adalah target bernegaranya China menuju peremajaan besar. Visi besar Xi menuju China Jaya pada 2049. Di satu sisi ada sebuah kebijakan yang dikenal dengan ambiguitas strategis, Washington mengakui posisi Beijing Taiwan adalah bagian dari Cina tapi tidak pernah menerima klaim kedaulatannya atas pulau tersebut.
AS menyediakan senjata pertahanan Taiwan, tetapi tetap tidak jelas apakah akan melakukan intervensi militer jika China menyerang pulau itu.
Hubungan dua negara ekonomi kuat di dunia itu semakin panas ketika Ketua DPR AS Nancy Pelosi pada Agustus 2022 ke Taiwan. Kunjungan Nancy Pelosi itu membuat China murka pada AS, yang kemudian melancarkan latihan militer dekat Taiwan.
Ketegangan politik yang melanda negara-negara besar ini justru dikhawatirkan menutup agenda ekonomi KTT G20. Karena Presidensi ini datang ketika AS, China dan Rusia mengurangi prospek koordinasi pada krisis ekonomi serta inflasi di banyak negara mencapai titik tertinggi dalam 40 tahun.
"Karena perang di Ukraina mengganggu rantai pasukan dan mengacaukan pasar energi. Mengapa AS sangat marah dengan Arab Saudi karena Raja Salman tidak mau memproduksi lebih banyak minyak bumi dan harganya tetap tinggi. Ingat perang itu membutuhkan BBM yang sangat banyak," tuturnya.
Presiden AS Joe Biden dan pemimpin China Xi Jinping dijadwalkan bertemu pada Senin depan. "Bentrokan dua ekonomi terbesar dunia itu membuat Jokowi khawatir. Tidak akan ada perdamaian tanpa dialog," cetusnya.
Dalam wawancara khusus di Istana, Presiden Jokowi menggambarkan KTT G20 sebagai forum internasional yang paling rumit dan menegangkan secara diplomatis. Menurut Jokow, jika Presiden Xi Jinping dan Presiden Joe Biden dapat bertemu dan berbicara, itu akan sangat baik bagi dunia, terutama jika mereka dapat mencapai kesepakatan tentang bagaimana membantu dunia pulih.
Era di mana China dan AS tidak akur justru jauh lebih berbahaya daripada yang biasa dialami Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini khawatir kemungkinan penggunaan senjata nuklir, baik di Ukraina atau di Semenanjung Korea, di mana Pyongyang telah menembakkan sejumlah rudal tahun ini. “Penggunaan senjata nuklir dengan alasan apapun, tidak dapat ditolerir,” kata Jokowi.
Dalam pandangan mantan wali kota Solo ini, kenaikan harga secara langsung berdampak pada 275 juta orang Indonesia. Dia menyebut invasi Rusia ke Ukraina sebagai 'sakit kepala' dan mengganggu pikirannya.
"Maka dari itu mari kita sukseskan konfrensi tingkat tinggi maha penting ini karena KTT G20 berada tepat di negara super power yang sedang konflik akan pengaruhnya kepada dunia global," imbau Fahd.
Menurut dia, Indonesia harus ambil peran strategis di sini. "Yang jadi pertanyaan apakah poros tengah akan dihidupkan kembali dalam percaturan global? Indonesia harus jadi leadernya," tutup Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar tersebut.