RN - Ratusan anak Indonesia telah menjadi korban gagal ginjal. Ini merupakan kasus paling buruk yang terjadi di dunia saat ini.
Ada dua negara lain yang juga mencatat kasus serupa, yaitu Gambia dan Nigeria, namun korbannya tidak atau belum sampai di angka seratus.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ma'mun Murod Al-Barbasy menyebut bahwa kasus ini telah menambah rentetan catatan buruk Indonesia di tingkat dunia terkait kamatian yang bersifat masal. Sebelumnya, Tragedi Kanjuruhan telah dicatat sebagai kasus terburuk kedua di dunia dalam tragedi kematian penonton sepakbola. Tahun 2019 Indonesia juga mencatat rekor buruk ketika ratusan petugas pemilu meninggal dunia.
BERITA TERKAIT :Ma'mun yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang membidangi pendidikan mendesak agar meninggalnya ratusan anak dalam kasus gagal ginjal disikapi sangat serius oleh pemerintah.
Ma'mun mendukung langkah Menko PMK Muhadjir Effendy yang meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas dugaan tindak pidana dalam kasus ini.
"Kalau terbukti kasus 'horor ginjal' yang telah merenggut ratusan nyawa anak disebabkan karena kandungan zat etiken glikol dan deitilen glikol dalam obat (sirup) yang diminum anak-anak, Mabes Polri harus berani menetapkan status tersangka kepada perusahaan-perusahaan obat tersebut," tegas Ma'mun melalui keterangannya, Senin (24/10/2022).
Jika faktanya pemicu kematian ratusan anak malang itu adalah kandungan zat-zat di dalam obat-obatan yang dikonsumsi, menurutnya kasus ini tak bisa dianggap kelalaian. Sebab, obat-obatan yang akan dijual bebas ataupun melalui resep dokter lazimnya sudah melalui uji laboratorium. Ada juga pengawasan dari BPOM.
"Maka aneh kalau sampai ada obat-obatan yang lolos edar kok sampai bisa menyebabkan jatuhnya banyak korban," tukas Ma'mun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Ia menegaskan, unsur faktor kesengajaan harus juga diselidiki dalam kasus ini. Faktor kesengajaan motifnya bisa beragam, salah satunya karena motif ingin mendapatkan keuntungan yang besar dalam proses produksi obat-obatan tersebut. Sebab sebagaimana dinyatakan oleh Menko PMK, bahwa bahan-bahan obat-obatan tersebut masih merupakan bahan impor.
"Khas Indonesia, sangat mungkin juga ada mafia obat yang bermain dalam kasus meninggalnya ratusan anak ini," cetus Ma'mun.
"Sebab faktor kelalaian saja bisa terkena jeratan tindak pidana, apalagi kalau itu ada unsur kesengajaan, maka tak ada pilihan kecuali siapapun yang terlibat dalam proses 'pembunuhan masal' ini harus ditindak tegas," imbuhnya.
Kemenkes dan BPOM menurut dia, juga pantas dimintai keterangan. Bahkan jika perlu kalau bukti-buktinya sangat kuat karena melakukan pembiaran atas produksi obat-obatan tersebut, maka pantas ditersangkakan.
"Korban sudah begitu banyak, jangan terkesan antara Kemenkes dan BPOM saling lempar tanggung jawab. Saya yakin Kemenkes dan terutama BPOM tahu bahwa zat-zat yang terkandung dalam obat-obatan (sirup) tersebut sangat berbahaya bagi anak-anak, tapi kenapa diberikan izin penggunanya?" tengarai Ma'mun yang juga menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS).