Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Jokowi Dapat Bisikan, Ekonomi Gelap Gulita, Kini Saatnya Revolusi Nasib

RN/NS | Selasa, 27 September 2022
Jokowi Dapat Bisikan, Ekonomi Gelap Gulita, Kini Saatnya Revolusi Nasib
-

RN - Ancaman serius menghadang dunia. Jika dunia guncang otomatis, Indonesia bakal goyang.

Jelang Pilpres, ekonomi diprediksi gelap gulita. Untuk itulah semua pihak diminta tetap waspada dan segera melakukan revolusi nasib.

Diketahui, revolusi nasib adalah gerakan kepercayaan diri untuk mendongkrak ekonomi secara mandiri dari dalam sendiri.

BERITA TERKAIT :
Siapa Bilang Sri Mulyani Cemen, Menkeu Siap Hadir Di MK...
DPRD DKI: Generasi Z Berkontribusi Besar Kendalikan Inflasi

Presiden Joko Widodo mengaku mendapatkan 'bisikan' tentang prospek perekonomian dunia tahun depan. Ancaman kegelapan semakin nyata sejalan dengan situasi tahun ini yang tak kunjung membaik.

'Bisikan' tersebut disampaikan Jokowi saat memberikan pengarahan acara BUMN Startup Day Tahun 2022 yang disiarkan secara live streaming di Youtube Sekretariat Presiden, Senin (28/9/2022).

"Dunia sekarang ini dalam posisi yang tidak gampang, posisinya betul-betul pada posisi yang semua negara sulit," kata Jokowi.

Jokowi menyebut, sejumlah lembaga internasional menyampaikan bahwa perekonomian pada tahun ini akan berada pada masa sulit. Sementara itu, tahun depan dunia akan benar-benar 'gelap gulita' imbas dari krisis tahun ini.

"Lembaga internasional sampaikan tahun ini, tahun 2022 sangat sulit. Tahun depan mereka menyampaikan akan lebih gelap," kata Jokowi.

Menurut dia, hal ini tidak lepas dari belum usainya perang antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak Februari 2022.

Jokowi melanjutkan, kondisi tersebut tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Dalam diskusi yang ia lakukan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dan di lokasi berbeda dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, bisa disumpulkan bahwa perang tidak akan usai dalam waktu dekat.

“Dunia sekarang ini pada posisi yang tidak gampang dan betul-betul sulit di mana tahun depan akan lebih gelap. Saya bertemu dengan Presiden Zelensky dan satu setengah jam berdiskusi, serta Presiden Putin dua setengah jam berdiskusi, saya menyimpulkan perang tidak akan segera selesai, akan lama,” tegas mantan Gubernur DKI ini.

Dia menyatakan, dampak dari perang antara Rusia dan Ukraina akan dirasakan oleh Indonesia dan dunia. Beberapa dampak, seperti krisis energi, pangan, dan finansial, akan membebani pergerakan ekonomi di tahun 2023.

“Itu akan berakibat pada kesulitan lain, seperti krisis pangan, krisis energi, krisis finansial, Covid-19 yang belum pulih, dan akibatnya kita tahu sekarang ini saja 19.600 orang mati karena kelaparan, karena krisis pangan,” lanjut Jokowi.

Pada tahun 2023 juga diramalkan oleh Bank Indonesia (BI) sebelumnya. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 yang berisiko tumbuh lebih rendah ini juga disertai dengan tingginya tekanan inflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global.

“Tahun depan kami perkirakan turun jadi 2,7 persen, bahkan ada beberapa risiko yang menjadikan ke 2,6 persen,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (22/9/2022).

Ancaman Resesi

Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengungkit soal resesi ekonomi yang diperkirakan terjadi pada 2023.

Mbak Sri sapaan akrabnya mengatakan, kenaikan suku bunga acuan di bank sentral sejumlah negara membuat bayang-bayar resesi ekonomi dunia semakin nyata.

Sikap bank sentral AS, The Fed, yang mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dari 2,25 persen-2,5 persen menjadi 3-3,25 persen pada September 2022 lalu turut memantik gejolak berbagai bank sentral dunia.

"Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023," tutur dia dalam konferensi pers, Senin (26/9).

Menurut catatan Ani, suku bunga acuan bank sentral Inggris sudah naik 200 basis poin selama 2022. Begitu pula dengan Amerika Serikat (AS) yang sudah naik 300 bps sejak awal tahun.

"(Bunga acuan) AS sudah 3,25 persen, sudah naik 300 bps, ini terutama karena rapat September ini mereka menaikkan lagi dengan 75 bps. Ini merespons inflasi AS 8,3 persen," ungkapnya.

Bank Indonesia (BI) pun memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen. Suku bunga deposit facility juga naik sebesar 50 bps menjadi 3,5 persen, sedangkan suku bunga lending facility naik sebesar 50 bps menjadi 5 persen.

Meski begitu, Sri Mulyani percaya diri dengan menyebut bahwa perekonomian Indonesia masih cukup sehat dan aman dari ancaman resesi. Hal itu didasarkan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2022 yang berada di jalur positif dan inflasi yang masih terkontrol.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01 persen pada kuartal I 2022 lalu. Inflasi pun masih terkendali di level 4,35 persen pada Juni kemarin.

"Kita (Indonesia) relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risiko (potensi resesi) 3 persen," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers di Nusa Dua, Rabu (13/7), mengamini survei yang dilakukan Bloomberg soal potensi resesi negara-negara dunia.

Sri Mulyani bahkan mengklaim daya tahan ekonomi Indonesia lebih kuat ketimbang negara-negara lain yang sudah masuk resesi, seperti AS hingga China yang ekonominya melambat pada kuartal II 2022.

Dengan begitu, Ani berani mengulang pernyataannya tentang peluang resesi Indonesia yang diklaim sangat kecil.

"Sehingga, menjadikan Indonesia masuk negara yang terjadinya resesi sangat kecil," ujar Ani dalam Kuliah Umum UI 2022, Senin (8/8).

Di lain kesempatan, Ani juga mengatakan utang luar negeri pemerintah menurun. Begitu juga dengan utang korporasi yang semakin rendah. Berdasarkan data BI, utang luar negeri RI sebesar US$415 miliar pada akhir Mei 2022. Angka tersebut turun 4,9 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Namun, Ani tidak menutup mata bahwa inflasi negara-negara Uni Eropa membuat ekonomi dunia bergejolak. Selain itu, perang Rusia-Ukraina, kenaikan harga BBM hingga pangan turut membuat inflasi melonjak di sejumlah negara.