RN - Penyebab kasus kematian Nofriyansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua sampai saat ini masih jadi misteri.
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin 1964), Firman Wijaya menyoroti pengumpulan bukti terkait kematian Brigadir J. Menurut dia, ada beberapa hal tidak bisa dilepas-pisahkan.
"Roadmap pemetaan perkara itu biasanya dimulai dari tiga titik penting, yakni lokus, tempus dan modus," ujar Firman dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
BERITA TERKAIT :Perkara kematian Yosua ini dapat dibuat metafora bahwa jenazah tidak mungkin dusta. "Tentu apa yang saya katakan ini hanya sebuah analogi di mana dalam pengungkapan kasus ini harus mempertimbangkan tiga hal penting tadi," jelasnya.
"Karena itu kita berusaha merasionalkan kasus ini karena setiap pengungkapan kasus itu kan dimulai dari praduga," kata dia, menambahkan.
Kendati demikian, kata dia, setiap praduga harus terkendali agaar tidak menimbulkan misleading.
Sejauh ini diketahui sudah dilakukan serangkaian serangkaian penyelidikan dalam penanganan kasus tewasnya Brigadir J, mulai dari visum hingga autopsi ulang.
"Terkait visum dan otopsi ini pada gilirannya akan menimbulkan pertanyaan saat verifikasi dan validasi. Apakah ada kesamaan antara visum dan autopsi? Atau ada perbedaan tipis? Nah, di situlah akan ditentukan opini expert atau keterangan ahli," paparnya.
Kemudian, apakah proses visum dan otopsi ini akan menjadi tolok ukur dalam pengungkapan kasus kematian Brigadir J secara objektif.
"Tentu menjadi satu pertanyaan yang sangat serius. Misalnya kesamaan terkait luka, jenis luka, misalnya luka terhadap mata, trauma, apakah luka itu beraturan atau tidak beraturan atau menimbulkan infeksi," bebernya.
Sebagai praduga awal, ia mencermati antara visum dan autopsi kaitan dengan status objek ada kesamaan. "Hemat saya ini hanya soal penilaian karakteristik saja. Apakah saintifik atau tidak dalam hal pembuktian terhadap perkara ini," tandas Firman.