RN - Jumlah senjata nuklir secara global diperkirakan bertambah dalam tahun-tahun mendatang untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin.
Hasil kajian Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) menunjukkan risiko senjata itu digunakan juga meningkat ke level tertinggi dalam beberapa dekade.
Invasi Rusia di Ukraina dan dukungan Amerika Serikat beserta sekutunya kepada Kiev telah menambah ketegangan di antara sembilan negara bersenjata nuklir di dunia.
BERITA TERKAIT :Selain Rusia dan AS, negara lain yang juga memiliki senjata nuklir adalah Prancis, China, Inggris, India, Pakistan, Israel dan Korea Utara.
Meski jumlah senjata nuklir berkurang sedikit antara Januari 2021 dan Januari 2022, SIPRI mengatakan cadangannya secara global bisa meningkat lagi dalam waktu dekat jika dunia tidak mengambil tindakan segera.
"Semua negara bersenjata nuklir sedang meningkatkan atau memperbarui arsenal mereka dan sebagian besar mempertajam retorika nuklir dan peran senjata nuklir dalam strategi militer mereka," kata Wilfred Wan, Direktur SIPRI bidang Senjata Pemusnah Massal, dalam buku tahunan 2022 lembaga kajian itu, dikutip dari Reuters, Senin (13/6/2022).
"Ini sebuah kecenderungan yang sangat mengkhawatirkan."
Tiga hari setelah invasi Rusia di Ukraina, yang disebut Moskow sebagai "operasi militer khusus", Presiden Vladimir Putin memerintahkan agar senjata nuklir Rusia disiapkan dengan kewaspadaan tinggi.
Dia juga memperingatkan adanya konsekuensi yang "belum pernah anda lihat dalam sejarah" kepada negara-negara yang menghalangi tindakan Rusia.
Rusia memiliki arsenal nuklir terbesar di dunia dengan 5.977 hulu ledak, sekitar 550 lebih banyak daripada AS.
Kedua negara itu menguasai lebih dari 90 persen hulu ledak nuklir yang ada di dunia, tetapi SIPRI mengatakan China sedang meningkatkan arsenalnya dengan 300 lebih rudal baru.
SIPRI mengatakan jumlah hulu ledak nuklir global turun menjadi 12.702 pada Januari 2022 dari 13.080 pada Januari 2021.
Sekitar 3.732 hulu ledak diperkirakan telah dipasang pada rudal dan pesawat, dan sekitar 2.000 lainnya –hampir semua milik Rusia atau AS– berada dalam kesiapan yang tinggi.
"Hubungan di antara kekuatan-kekuatan besar dunia makin memburuk ketika umat manusia dan planet ini menghadapi banyak tantangan bersama yang besar dan mendesak, yang hanya dapat diatasi dengan kerja sama internasional," kata Stefan Lofven, ketua dewan pengurus SIPRI dan mantan perdana menteri Swedia.