PRESIDEN Joko Widodo sudah beberapa kali menyampaikan gagasan soal tekad Indonesia menghentikan ekspor bahan mentah (raw material) seperti nikel, kobalt, bauksit, tembaga, dan seterusnya.
Salah satunya disampaikan Jokowi saat pelepasan ekspor perdana Smelter Grade Alumina (SGA) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang, Bintan, Kepri.
Saat itu, Presiden Joko Widodo menyatakan siap mengambil risiko apapun meskipun keputusan untuk menghentikan ekspor bahan mentah mendapatkan resistensi berbagai negara, seperti kasus nikel yang digugat UE (Uni Eropa).
BERITA TERKAIT :Tekad yang sama diulang kembali pada peresmian pabrik mobil listrik Hyundai di Bekasi, pertengahan Maret lalu. Presiden kembali menegaskan Indonesia harus menjadi pemain penting dalam rantai pasok global industi mobil listrik, mengingat Indonesia memiliki sumber daya mineral yang sangat besar untuk pengembangan mobil listrik.
Frasa yang sempat muncul juga adalah agar Indonesia keluar secepatnya dari jebakan negara pengekspor bahan mentah, seperti pernah terjadi di masa kolonial dulu.
Dalam konstitusi jelas diatur bagaimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur dan memanfaatkan sumber daya mineral (mineral dan batubara, minerba) tanpa ada intervensi dari negara lain maupun organisasi internasional.
Moratorium ekspor nikel juga berbasis regulasi level internasional, yakni resolusi PBB 1803 (XVII) yang menegaskan soal permanent sovereignty over natural resources (PSNR).
Tindakan moratorium ekspor nikel memiliki dasar regulasi cukup kuat, salah satunya adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, secara spesifik dijelaskan dalam Pasal 62A.
Permen ESDM tersebut merupakan turunan dari konstitusi negara UUD 1945. Dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, telah diatur, bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hilirisasi nikel
Bangkitnya era mobil listrik berdampak signifikan pada peningkatan kebutuhan nikel. Indonesia, hari-hari ini, sedang menjadi soroton dunia, sehubungan keberadaan cadangan nikel. Sebagai material inti pembentuk (precursor) baterai mobil listrik, nikel semakin banyak dicari pasar dunia.
Bagi yang mengerti logika bisnis, gugatan UE adalah sesuatu yang biasa saja dalam bisnis internasional. Maksud UE sudah terbaca sejak awal dan sudah diantisipasi pula. UE ingin tetap membeli bijih nikel mentah (ore), yaitu nikel yang belum diolah.
Kita paham bijih nikel mentah harganya jauh di bawah nikel yang sudah diproses di smelter. Tentu saja sikap Indonesia berlawanan dengan kehendak UE tersebut, berdasar asumsi kita memiliki pertimbangan strategis sendiri.
Ketika UE mengajukan gugatan pada November 2019, Presiden Jokowi sendiri yang merespons. Kita hadapi saja gugatan UE. Kita siapkan lawyer terbaik, kira-kira begitu tanggapan Pak Jokowi.
Arahan tegas Presiden telah menumbuhkan rasa percaya diri segenap pemangku kepentingan di bidang nikel, saat berhadapan dengan UE, bila benar-benar terjadi.
Indonesia memiliki kepentingan yang lebih strategis dalam pemanfaatan nikel. Jadi kebijakan moratorium ekspor nikel ada argumentasi logisnya.
Kita bisa paham tentang kecemasan UE, karena ini terkait kebutuhan mereka dalam manufaktur baja tahan karat (stainless steel). Selama ini, UE sudah banyak menikmati pasokan bijih nikel dari berbagai negara, salah satunya dari Indonesia.
Hingga pada suatu titik, Indonesia melakukan moratorium. Wajar bila UE kemudian terkejut, karena pasokan selama ini dianggap aman-aman saja.
Peta jalan strategis Indonesia terkait pemanfaatan nikel, sungguh di luar imajinasi negara-negara UE.
Moratorium ekspor bisa dibaca sebagai wujud kedaulatan negara atas minerba (mineral dan batubara), dalam hal ini nikel (termasuk kobalt).
Kobalt juga merupakan komponen pembentuk (precursor) baterai mobil listrik, senyawa kobalt baru muncul saat pemurnian (smelting) nikel.
Berdasar pertimbangan ekonomis, adalah hak Indonesia melakukan moratorium. Momentum telah tiba, kita harus memperoleh manfaat yang lebih besar, ketimbang hanya mengekspor bijih nikel mentah.
Sudah sejak lama telah muncul kesadaran, ekspor bijih nikel mentah (gelondongan) harus berhenti total, karena harganya sangat murah.
Bila yang diekspor adalah nikel yang sudah diproses, seperti feronikel atau nickel pig iron (NPI), lebih menguntungkan dari segi harga.
Kini, Indonesia sudah berancang-ancang dengan target yang lebih ambisius, yaitu hilirisasi nikel untuk baterai mobil listrik, yang harganya di pasar dunia sangat kompetitif.
Bahkan seorang Ellon Musk (icon mobil listrik dunia) secara terbuka pernah menyatakan ketertarikannya pada produk nikel dari Indonesia.
Perhatian utama dari banyak negara produsen bahan mentah adalah hilirisasi, agar tercipta lebih banyak nilai tambah, seningga menarik investor dalam industri baterai.
Salah satu elemen penting hilirisasi minerba, utamanya smelter nikel, adalah pasokan listrik yang andal. Di beberapa lokasi smelter, keandalan pasokan listrik masih menjadi isu krusial.
Merujuk data dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) Kementerian ESDM, salah satu proyek yang masih memiliki problem pasokan listrik adalah smelter nikel PT Antam Tbk di Halmahera Timur (kontan.co.id, 12/4/2022).
Selain itu, ada tiga proyek pembangunan smelter di bawah koordinasi PJPK Kementerian Perindustrian, yang menghadapi masalah yang sama. PT PLN siap memasok listrik untuk mendukung operasional smelter feronikel PT Antam di Halmahera Timur.
Sinergi kedua BUMN ini ditandai dengan penandatanganan Head Of Agreement (HOA) antara PLN dan Antam di Kantor Pusat PLN, (9/2/2022).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan PLN siap memasok kebutuhan listrik Antam sebesar 75 Megawatt (MW) selama 30 tahun ke depan. Darmawan juga berkomitmen, siap memenuhi bila ada kebutuhan tambahan suplai listrik.
Direktur Utama Antam Nicolas Kanter menjelaskan smelter merupakan salah satu proyek strategis nasional untuk mendukung hilirisasi mineral.
Dengan dukungan listrik PLN, smelter yang sudah selesai dibangun akan segera beroperasi penuh. Nico berharap proses pembangunan dan penyambungan listrik akan dilakukan secara cepat, tepat dan andal.
Kolaborasi dan sinergi antara PLN dan Antam ini kiranya mampu memperkuat ekosistem kendaraan listrik dan industri baterai EV.
Gasifikasi batubara
Dalam rapat terbatas percepatan nilai tambah batubara di Istana Bogor, 23 Oktober 2020, Presiden Jokowi memberi arahan agar proses hilirisasi batubara menjadi DME di dalam negeri dipercepat , sebagai upaya untuk mengurangi impor LPG.
Dalam pandangan Presiden Jokowi, hilirisasi adalah salah satu cara meningkatkan nilai tambah batubara, karena sebelumnya selalu diekspor dalam bentuk bahan mentah (raw material).
Hilirisasi batubara atau biasa dikenal sebagai program gasifikasi batubara sudah masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN).
DME diproduksi untuk menggantikan posisi elpiji, yang 75% dari total konsumsi nasional masih harus impor. Sementara metanol bisa disalurkan pada industri biodiesel dan spirtus. Dengan hilirisasi ini, kadar karbon batubara bisa diturunkan secara signifikan, meskipun tidak sampai net zero emission.
Seiring dengan rencana strategis PLN yang akan memensiunkan PLTU secara total pada 2050, di tingkat global transisi energi menuju EBT akan berlangsung secara masif.
Sehingga diprediksi pada saat yang bersamaan, permintaan batubara akan turun secara drastis, bahkan akan tiba masanya batubara adalah bagian dari masa lalu.
Sementara sumber daya batubara di negeri begitu melimpah, dengan angka produksi sekitar 500 juta ton per tahun, umur cadangan batubara setidaknya masih siap sampai 70 tahun dari sekarang.
Mayoritas batubara Indonesia adalah jenis kalori sedang dan rendah, yang jumlahnya mencapai 90%, jenis yang paling pas untuk diproses sebagai dimethyl ether (DME) dan metanol.
Hilirisasi batubara menjadi DME dan methanol adalah salah satu opsi, agar bisnis batubara tetap bisa dilanjutkan, dan sesuai arahan Presiden Jokowi.
Metanol sendiri adalah produk petrokimia, yang merupakan bahan dasar dari proses aromatic pada industri petrochemical serta juga untuk mendukung program pemerintah bagi industri biodiesel.
Metanol merupakan unsur utama produksi Fatty Acid Methyl Esters (FAME). FAME inilah yang kemudian dicampur dengan solar untuk dijadikan produk biosolar.
Optimalisasi pemanfaatan produk DME dan metanol telah memberikan pengetahuan, bahwa program pengembangan energi terbarukan bukan lagi isu lingkungan semata, melainkan juga ekonomi. Pasalnya, pasar global saat ini mulai fokus pada produk hasil industri yang memiliki jejak karbon (carbon footprint) yang rendah, sesuai prinsip transisi energi.
Bagi pemerintah, kontribusi finansial batubara masih signifikan. Dari kontribusi terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNPB) pada 2020, yang mencapai Rp34,6 triliun, batubara menyumbang sekitar 85%. Sisanya baru berasal dari sumbangan tambang mineral lain (emas, tembaga, nikel, dan bauksit).
Dalam transisi menuju energi terbarukan, peran PLTU berbasis batubara masih signifikan, sehingga tidak perlu ada dikotomi antara EBT (energi baru dan terbarukan) dan batubara, dalam transisi energi keduanya bisa berjalan paralel.
Todotua Pasaribu
Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi