RN - Presiden Joko Widodo melarang ekspor CPO dan minyak goreng berlaku per Kamis (28/4/202) mendatang, hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Kebijakan tersebut mendapat dukungan Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti meski hanya sebagai terapi kejut dan bersifat karitatif (menyenangkan rakyat).
“Presiden sepertinya sengaja memberi terapi kejut saja kepada semua pihak, baik para pengusaha, maupun para pembantunya yang terkait soal itu," ujar La Nyalla di sela reses di Jawa Timur, Sabtu (23/4/2022).
BERITA TERKAIT :"Tetapi saya yakin segera dibuka kembali. Karena total jumlah produksi tidak bisa diserap di dalam negeri,” tambahnya.
Karena larangan ekspor CPO, menurutnya, bukan jurusnya mengatasi persoalan fundamental.
"Sebab jurus yang dibutuhkan terkait dengan keberanian kita mengubah arah kebijakan perekonomian nasional yang sudah telanjur menyerahkan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar," terangnya.
La Nyalla menjelaskan, jurus paling jitu adalah melakukan koreksi fundamental arah kebijakan perekonomian nasional dalam perspektif negara kesejahteraan, sesuai amanat Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. "Bukan ayat 4 hasil amandemen,” tandas Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur itu.
Terhadap semua hajat hidup orang banyak, terutama yang menyangkut sumber daya alam, negara harus hadir dalam lima afirmatif meliputi kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. "Sehingga tidak bisa diberikan begitu saja ke swasta, apalagi asing. Lalu negara terima bea ekspor dan royalti," imbuhnya.
Apalagi, ia mengingatkan dalam perkebunan sawit, dana pungutan ekspor yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), penggunaannya ditentukan oleh Komite Pengarah pimpinan Menko Perekonomian dengan melibatkan empat pengusaha sawit besar, terutama terkait program biodiesel.
"Dari triliunan dana yang terkumpul, 80 persen digelontorkan kepada sekitar 10 perusahaan besar Kelapa Sawit untuk subsidi program biodiesel. Sisanya 5 persen untuk peremajaan sawit rakyat," urainya.