RN - Aksi biadab kepolisian Israel menghalau warga Palestina di Masjid al-Aqsa juga terjadi penolakan. Alhasil, Partai Raam meninggalkan koalisi pemerintah yang ditopang mayoritas tipis di parlemen.
Perkembangan ini berpotensi picu destabilisasi politik. Langkah Partai Raam menangguhkan dukungan bagi pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennett diumumkan pada Minggu, (17/04), sore.
Keputusan itu dibuat menyusul tekanan dari konstituen dan kader partai yang menolak aksi kepolisian Israel menyusul eskalasi kekerasan di Yerusalem.
BERITA TERKAIT :Namun begitu, hengkangnya partai yang mewakili minoritas Arab di Israel itu belum akan berdampak, lantaran parlemen masih dalam masa libur dan belum akan bersidang hingga 8 Mei mendatang.
Menurut media nasional, Perdana Menteri Bennett berusaha meyakinkan rekan koalisinya demi menyelamatkan mayoritas tipis di parlemen. Isu ini menjadi pelik setelah mundurnya seorang kader Partai Yasmina pimpinannya dari fraksi di parlemen karena masalah agama.
Koalisinya yang dibangun bersama Yair Lapid, seorang tokoh moderat, dan diperkuat oleh tujuh partai kecil di spektrum kiri, untuk pertama kalinya mendapat dukungan partai Arab, Raam. Aliansi politik itu terbentuk untuk menjatuhkan bekas PM Benjamin Netanyahu.
Mundurnya Partai Raam memicu krisis pertama bagi pemerintahan Bennett sejak dilantik pertengahan tahun lalu. Israel sedang berada dalam periode instabilitas politik yang ditandai oleh empat pemilihan umum dalam dua tahun terakhir.
Pada Jumat dan Sabtu, (16/04), aparat kepolisian Israel mengepung kompleks Haram al-Sharif dan Masjid al-Aqsa yang dijadikan tempat persembunyian bagi pemuda Palestina. Aparat mengaku dilempari batu, yang dijawab dengan tembakan gas air mata, granat kejut dan sabetan pentungan.
Tindakan keras kepolisian dikabarkan juga menimpa warga sipil yang berada di sekitar masjid. Menurut organisasi Bulan Sabit Merah, sekitar 160 warga Palestina akibatnya mengalami luka-luka. Nasib serupa menimpa sejumlah anggota kepolisian Israel.
Situs suci umat Yahudi dan muslim itu kembali menjadi panggung pertikaian antara Israel dan Palestina. Kompleks Haram al-Sharif saat ini berada di bawah otoritas warga muslim. Menurut perjanjian dengan Israel, Palestina wajib mengizinkan umat Yahudi berziarah ke lokasi tersebut.
Otoritas Palestina menuduh PM Naftali Bennett ingin membelah dua situs suci itu layaknya Masjid Ibrahimi di Hebron, yang berbagi tempat dengan Sinagoga karena didirikan di atas Gua Makhpela, sebuah situs suci umat Yahudi.
Tuduhan itu dilayangkan setelah Bennett memberikan "kebebasan” bagi kepolisian untuk memulihkan ketertiban di Haram al-Sharif, demi menjaga keselamatan warga Yahudi yang ingin beribadah, Minggu (17/04).
Menanggapi hal tersebut, juru bicara Otoritas Palestina, Nabil Abu Rudeineh, mengatakan pernyataannya itu "adalah upaya melegitimasi gagasan membelah dua Masjid al-Aqsa,” katanya seperti dilansir Jerusalem Post.
Kantor berita Palestina, Wafa melaporkan,Presiden Mahmoud Abbas sudah membahas perkembangan di Yerusalem dengan Presiden Turki, Reyep Tayyip Erdogan. Kepada lawan bicaranya itu, dia "mewanti-wanti terhadap bahaya yang bisa mucul dari serangan bertubi-tubi terhadap Masjid al-Aqsa.”