RN - Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan bisa disebut kerja tanpa bacot. Dia tetap konsen mengurus ibu kota, walaupun namanya melambung dalam survei calon presiden 2024.
Misalnya, sumur resapan yang dinyinyirin kaum bully ternyata dipakai oleh Ibu Kota baru atau IKN di Kalimantan Timur. Belum lagi, balapan Formula E yang selalu menjadi bulan-bulanan musuh-musuh politiknya.
Padahal jika mau jujur, Formula E adalah terobosan ajang balap internasional yang bisa mendongkrak ekonomi Jakarta.
BERITA TERKAIT :Kali ini soal macet. Sejak masa transisi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta pada 2017, posisi kemacetan Jakarta sesuai indeks Tomtom Trafik turun pesat.
Dari peringkat empat seluruh dunia, Jakarta kini ada di peringkat 46. Dalam alam demokrasi bebas saja orang mengkritik.
Karena, kritik yang dilontarkan apalagi dari DPRD menjadi bagian dari kontrol. Tapi, kritik tanpa solusi bisa disebut aneh dan ngaco.
“Bayangkan, dari peringkat empat, dalam waktu lima tahun kita turun dari posisi keempat kota termacet di dunia. Sekarang kita posisi 46 di dunia,” kata Anies dalam acara Jakarta E-Mobility Event yang disiarkan daring, Selasa (1/3).
Anies memerinci, dalam waktu setahun, transformasi perubahan lalu lintas membuat Jakarta turun dari peringkat ke empat menjadi ketujuh. Setahun kemudian, turun lagi ke peringkat 10, hingga akhirnya pada 2019 dan 2020 turun pesat ke peringkat 31.
“Ini bukan hanya karena pekerjaan kami di pemerintahan, tapi juga adanya keinginan warga berubah atau mengubah rutinitas harian ke dalam pendekatan lebih sustainable,” kata dia.
Lebih jauh dia mengatakan, hingga kini pihaknya juga sedang berupaya mempercepat upaya clean mobility di Jakarta, termasuk ke arah kendaraan listrik. Menurutnya, hal itu akan dilakukan bertahap dengan mengganti armada transportasi umum menjadi elektrik dan selesai pada 2025.
“Setelah itu, kami pastikan sebagian besar wilayah di DKI bebas emisi pada 2030. Itu yang kami janjikan,” kata dia.
Anies menambahkan, akselerasi itu didorong dengan effort besar, sejalan laporan IPCC pada 2022 yang menggarisbawahi pentingnya akselerasi adaptasi perubahan iklim. Dia mengatakan, untuk mencapai target pada 2030, proses saat ini baru mencapai 26 persen. “Kami optimistis, bisa mencapai net zero pada 2050,” katanya.