RADAR NONSTOP - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini merasa, seseorang dengan gangguan jiwa masih berhak didata dan memilih untuk mengikuti Pemilu 2019.
“Sehingga sudah sewajarnya bagi penderita gangguan jiwa. Sepanjang tidak ada surat keterangan profesional bidang kesehatan jiwa yang mengatakan bahwa ia tidak mampu memilih di pemilu, maka ia wajib didata dan diberikan hak pilihnya tanpa kecuali,” kata Titi saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (21/11/2018).
Karena persoalan itu, Titi tak menampik bahwa masih ada pihak-pihak yang tertawa, lantaran kaum disabilitas mental ini didata sebagai pemilih. Justru Menurutnya, hal itu sesungguhnya memperlihatkan kedangkalan dan ketidaktahuan mereka soal gangguan jiwa.
BERITA TERKAIT :“Disabilitas adalah terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku yang meliputi psikososial, di antaranya schizophrenia, bipolar, depresi, anxietas dan gangguan kepribadian. Selain itu, disabilitas perkembangan yg berpengaruh pd kemampuan interaksi sosial, seperti autis dan hiperaktif,” jelasnya.
Titi merujuk satu pakar psikiatri, dr. Irmansyah yang menyebut, meskipun penderita psikosis mengalami disabilitas dalam sebagian fungsi mentalnya, mereka tetap bisa hidup normal dan mampu menentukan yang terbaik menurut dirinya. “Sebagai bagian dari proses pemulihan, penderita sebetulnya perlu didorong, bukan dihambat untuk berpartisipasi,” tegasnya.
Titi menjelaskan, di pemilu, syarat untuk didata sebagai pemilih ialah berusia 17 tahun dan atau sudah pernah menikah. Tidak ada syarat soal sedang tidak terganggu jiwa/ingatan seperti pilkada. “Artinya semua warga negara sesuai ketentuan yang ada ya wajib didata,” tandasnya.