RN - Data korban meninggal Corona dihapus menajdi bola liar. Sebab, data kematian harusnya diupdate per hari dan bukan secara kumulatif.
Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Pandjaitan memutuskan untuk mengeluarkan angka kasus kematian dari indikator penanganan Covid-19. Alasannya, ditemukan sejumlah masalah dalam input data angka kematian.
Wakil Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto tak setuju dengan keputusan tersebut. Dia menilai, harusnya data yang diberikan merupakan data harian, bukan akumulatif.
BERITA TERKAIT :"Harusnya yang di-update adalah kematian harian, kematian yang lalu dimasukkan dalam kematian kumulatif (total), bukan data harian," ujarnya, Rabu (11/8).
Selain itu, ia mengatakan, seharusnya pemerintah memperbaiki kendala tersebut, bukan menghapus data kematian dari indikator penanganan Covid-19.
"Harusnya diperbaiki, bukan dihapus. Masa dihapus? Karena indikator penanganan Covid-19 hanya dua, angka infeksi dan angka kematian, termasuk angka kesakitan. Jika indikator tersebut dihapus, maka kita tidak memiliki pegangan. Harus diperbaiki salahnya dimana, aturannya diperbaiki," tegasnya.
Senada dengan pendapat wakil IDI tersebut, relawan Laporcovid-19 Yemiko Happy, mengatakan seharusnya pemerintah membenahi data, bukan menghilangkan data kematian. Akurasinya diperbaiki, bukan malah dihilangkan.
Sementara Jubir Menko Marves, Jodi Mahardi, memastikan pemerintah bukan hendak menghapus indikator kematian dalam asesmen level PPKM.
Jodi menyebut pemerintah hanya akan merapikan terlebih dahulu data-data angka kematian COVID-19 yang selama ini menyebabkan distorsi.
"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," ucap Jodi kepada wartawan, Rabu (11/8/2021).
Jodi menyebut kesalahan data indikator kematian ini terjadi karena adanya keterlambatan laporan lantaran data yang menumpuk dan dicicil. Sehingga, kata dia, kondisi ini bisa menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah.
"Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ucapnya.
Lebih lanjut Jodi menyebut, selama lebih dari 21 hari kemarin, banyak kasus aktif yang juga tidak ter-update. Karena itulah, dia menyebut akhirnya pemerintah mengambil langkah untuk menghilangkan dahulu indikator kematian untuk dilakukan perbaikan sehingga data bisa akurat.
"Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," jelasnya.
Sambil menunggu proses pembersihan, Jodi memastikan untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.
Sekadar diketahui, sebelumnya Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin (9/8) menyebut telah mengeluarkan indikator kematian dalam menilai level PPKM di berbagai daerah. Alasannya, indikator kematian dianggap menimbulkan distorsi dalam penilaian level PPKM karena banyak input data yang tidak update dari berbagai daerah.