RN - BPK menyebut ada selisih pembelian pengadaan masker di Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta. Akibatnya, ada dugaan pemborosan atas pembelian masker N95 sebesar Rp5,85 miliar dalam anggaran 2020.
Dalam laporan pemeriksaan BPK 2020, Dinkes membeli masker N95 dari dua perusahaan; PT IDS dan PT ALK. Masker dari PT IDS menggunakan merek Respokare, dan PT ALK menggunakan merek Makrite.
Pembelian pertama dilakukan pada 3 Agustus 2020, melalui PT IDS. Pada transaksi ini, Dinkes menggelontorkan anggaran sejumlah Rp2.730.000.000 untuk pembelian 39.000 pieces masker, dengan harga satuannya Rp70.000.
BERITA TERKAIT :Pembelian kedua, pada 28 September 2020, Dinkes kembali melakukan pembelian melalui PT IDS sebanyak 30.000 pieces dengan harga satuan Rp60.000. Total nilai kontrak pada pembelian ini sebesar Rp1.800.000.000.
Pembelian ketiga kembali melalui PT IDS pada 1 Oktober 2020 dengan nilai kontrak Rp1.200.000.000 untuk pengadaan 20.000 pieces masker N95 dengan harga satuan Rp60.000.
"Sehingga PT IDS telah 3 kali melakukan pengadaan respirator dengan jumlah total 89.000 pieces," demikian penjelasan BPK yang dikutip pada Kamis (5/8).
Dinkes kemudian melakukan pembelian lagi masker N95. Namun kali ini tidak melalui PT IDS melainkan PT ALK. Pertimbangan Dinkes saat itu, masker dari PT IDS memiliki bau asam sehingga tidak nyaman dipakai.
Pembelian masker N95 dari PT ALK dilakukan pada 9 November 2020 dengan surat perjanjian atau kontrak nomor kontrak 9.1/PPK-SKRT/DINKES/DKI/XI/2020, dengan nilai kontrak Rp17.550.000.000.
"Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah 16 hari kerja yang dimulai 9-30 November."
Jumlah pengadaan dari PT ALK ssbanyak 195.000 pieces dengan harga satuan Rp90.000.
BPK, dalam dokumennya, menjelaskan pihak Dinkes DKI yang diwakili Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sempat meminta potongan harga kepada PT ALK. Namun perusahaan tersebut tidak mau memberikan potongan harga.
Setelah menguraikan proses pembelian, BPK berkesimpulan, PPK seyogyanya dalam pengadaan mengedepankan asas yang paling menguntungkan bagi negara, di mana jika mengadakan barang yang berjenis dan berkualitas sama seharusnya melakukan negosiasi harga minimal dengan harga barang yang sama atas harga respirator lainnya yang memenuhi syarat atau bahkan lebih rendah harganya dari pengadaan sebelumnya sehingga dapat menghemat anggaran keuangan daerah
"Permasalahan di atas mengakibatkan adanya pemborosan terhadap keuangan daerah senilai Rp5.850.000.000."
Angka pemborosan berasal dari selisih harga dari kedua perusahaan.
Harga satuan masker di PT ALK per buah Rp90.000 dengan jumlah barang 195.000, total harga Rp17.550.000.000.
Sementara harga satuan masker di PT IDS Rp60.000 jumlah barang 195.000 harga, total harga Rp11.700.000.000.
Atas permasalahan tersebut Pemprov DKI Jakarta melalui Kepala Dinas Kesehatan menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan BPK dengan penjelasan.
Pertama, kepala seksi alat kesehatan sangat teliti dan cermat dalam memilah dan memilih serta menyeleksi terhadap kualifikasi dan spesifikasi respirator N95 yang menjadi kewenangan dan tupoksinya. Kedua, Dinas Kesehatan tidak pernah menawarkan pengadaan masker respirator N95 sebanyak 200.000 pieces kepada PT IDS.
"Tetapi PT IDS pernah menanyakan jumlah kebutuhan masker respirator N95 di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta."
Ketiga, atas pengadaan tersebut PPK tetap melakukan negosiasi harga satuan kepada PT ALK namun perusahaan itu tetap tidak mau menurunkan harga satuan termasuk tidak memberikan diskon.
Hingga kini belum ada klarifikasi soal hasil audit BPK tersebut.
Pemborosan Anggaran
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) juga menemukan pemborosan anggaran oleh Pemprov DKI terkait pengadaan alat tes usap senilai Rp1.190.908.000. Pengadaan itu dinilai sebagai pemborosan karena pengadaan dilakukan di dua perusahaan berbeda tetapi merek alat usap yang dipesan sama.
Akibatnya terjadi selisih harga yang juga jauh berbeda. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti, menanggapi temuan itu. Dia mengaku kesulitan untuk bersikap teliti dan cermat atas pengadaan alat rapid test Covid-19 di kondisi darurat. Penjelasan itu tertuang dalam dokumen BPK hasil pemeriksaan atas laporan keuangan daerah tahun 2020.
"Pemprov DKI Jakarta melalui Kepala Dinas Kesehatan menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan, dengan penjelasan antara lain bahwa ketelitian dan kecermatan sulit dilakukan dalam kondisi saat proses pengadaan mengingat harga satuan yang sangat beragam," demikian penjelasan yang dikutip pada Kamis (5/8).
Kadinkes, dalam dokumen itu menjelaskan, sangat sulit mencermati masing-masing rincian harga dan stok yang ditawarkan oleh perusahaan. Sementara kondisi saat itu membutuhkan kecepatan demi menyelamatkan warga.
Dengan kata lain, DKI berlomba atau beradu cepat dengan instansi pemerintah lain atau swasta dalam pembelian alat rapid test guna menopang upaya penanggulangan pandemi.
"PPK kurang cermat dalam verifikasi awal dokumen penawaran penyedia dalam keadaan darurat penanganan pandemi Covid yang mengutamakan keselamatan dan penanganan segera."
Diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pemborosan anggaran oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta sebesar Rp1.190.908.000 untuk pengadaan alat rapid test. Bentuk pemborosan yang dimaksud, Dinas Kesehatan melakukan pengadaan alat tes di dua perusahaan dengan merek yang sama.
"Terdapat 2 penyedia jasa pengadaan rapid test Covid-19 dengan merek yang sama serta dengan waktu yang berdekatan namun dengan harga yang berbeda," demikian isi dari dokumen BPK tentang laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan daerah tahun 2020, yang dikutip pada Kamis (5/8).
Pengadaan pertama dimulai saat PT NPN, mengajukan surat penawaran berupa alat rapid test Covid-19 IgG/IgM rapid test cassete merek Clungene, pada 18 Mei 2020.
Dijelaskan, dalam satu kemasan, berisi 25 alat tes. Yang mana, harga setiap unit alat tes senilai Rp197.500.
Pada pengadaan ini, Dinkes kemudian menandatangani kontrak kerja dengan nomor 18.2/PPK-SKRT/DINKES/DKI/V/2020, untuk pengadaan 50.000 unit alat tes dengan total nilai Rp9.875.000.000.
"Pekerjaan telah dinyatakan selesai berdasarkan berita acara penyelesaian Nomor 12.4/BAST-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020 tanggal 12 Juni dengan pengadaan sejumlah 50.000 dengan harga per unit barang senilai Rp197.500."
Kemudian, Dinkes kembali membeli alat rapid test Covid-19 dengan merek yang sama, Clungene melalui PT TKM. Sama seperti PT NPN, satu kemasan berisi 25 test cassete rapid test Covid-19.
Pekerjaan dilaksanakan pada kontrak kerja yang ditandatangani pada 2 Juni 2020 dengan nilai kontrak Rp9.090.909.091.
Jenis kontrak adalah kontrak harga satuan, dengan jangka waktu pelaksanaan kontrak selama 4 hari kerja terhitung pada 2 Juni sampai dengan 5 Juni.
"Pekerjaan telah dinyatakan selesai berdasarkan pada tanggal 5 Juni dengan jumlah pengadaan sebanyak 40.000 pieces dengan harga per unit barang senilai Rp227.272," demikian isi dokumen.
BPK kemudian meminta konfirmasi atas pengadaan dua alat rapid test tersebut ke pihak Dinkes dan PT NPN. Dari hasil konfirmasi diketahui PT NPN hanya ditawarkan untuk melakukan pengadaan rapid test sebanyak 50.000 pieces.
"PT NPN tidak mengetahui jika terdapat pengadaan serupa dengan jumlah yang lain karena memang tidak diberitahukan pihak Dinas Kesehatan," demikian penjelasannya.
"Jika PT NPN ditawarkan pengadaan tersebut (40.000 pieces) lainnya maka PT NPN akan bersedia dan sanggup untuk memenuhinya karena memang stok barang tersebut tersedia."
Sementara dari pihak Dinkes menjelaskan, rekomendasi penyedia yang bisa menyediakan barang diperoleh dari seksi surveilans pada Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan langsung mengundang penyedia dan membuat surat pesanan.
"Tidak melakukan review ulang atas kontrak pengadaan lainnya dengan barang dan merek yang sama."
Kemudian, berdasarkan wawancara dengan PT TKM diketahui bahwa perusahaan tersebut mendapat undangan untuk melakukan pengadaan sebanyak 40.000 pieces dari Dinas Kesehatan kemudian memberikan bukti kewajaran harga berupa bukti transfer pembelian rapid test ke Biz PTE LTD Singapura seharga 14 dolar per piece.
"Biz PTE LTD Singapura merupakan perusahaan yang mendapatkan hak beli dari HCB co LTD di Cina sehingga PT TKM memang terbukti membeli barang tersebut agak mahal sehingga harga penawaran wajar," penjelasan BPK.
Namun, BPK berpandangan bila dilihat dari proses penunjukan tersebut seharusnya PPK dapat mengutamakan dan memilih penyedia jasa sebelumnya yang mengadakan produk sejenis dan stok tersedia, namun dengan harga yang lebih murah.
"Berdasarkan uraian di atas bila disandingkan pengadaan kedua penyedia tersebut maka terdapat pemborosan atas keuangan daerah senilai Rp1.190.908.000."