RN - Korea Utara (Korut) terancam mengalami krisis pangan. Bahkan, Presiden Korut Kim Jong-un mulai terlihat murung dan badannya kurusan.
Kom Jong-un mengakui, sejumlah faktor seperti sanksi Dewan Keamanan PBB dan penutupan perbatasannya dengan Cina akibat Covid-19 adalah salah satu penyebab.
Masalah krisis pangan kata dia, bahwa sektor pertanian telah gagal memenuhi rencana produksi, karena kerusakan akibat topan tahun lalu.
BERITA TERKAIT :“Situasi pangan masyarakat sekarang menjadi tegang. Sangat penting bagi seluruh partai dan negara untuk berkonsentrasi pada pertanian,” kata Kim, dilansir Aljazirah, Kamis (1/7).
Diketahui, seorang ahli Korea Utara dari SOAS University of London, Hazel Smith, berada di Korea Utara pada 1998 hingga 2001 untuk mengembangkan analisis data pertanian bagi UNICEF dan Program Pangan Dunia. Dia melukiskan gambaran tentang apa yang sedang terjadi.
“Anak-anak di bawah tujuh tahun, wanita hamil dan menyusui, kelompok lemah, lansia, ini adalah orang-orang yang kelaparan,” kata Smith.
Institut Pengembangan Korea di Seoul dalam sebuah laporan bulan lalu mengatakan, Korea Utara membutuhkan 5,2 juta ton makanan untuk 2020. Namun, sejauh ini Korea Utara hanya menghasilkan empat juta ton makanan.
Impor makanan yang dilakukan oleh Korea Utara tidak akan menyelesaikan masalah krisis pangan. Negara itu akan mengalami kesenjangan pangan sebesar 780 ribu ton untuk 2020-2021.
“Jika kesenjangan ini tidak cukup ditutupi melalui impor komersial dan/atau bantuan pangan, rumah tangga dapat mengalami masa sulit antara Agustus dan Oktober 2021,” kata FAO.
Badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) memperingatkan bahaya kelaparan yang mengancam masyarakat Korea Utara. Sekitar 10 juta orang di Korea Utara dianggap rawan pangan, dan 140 ribu anak di bawah 5 tahun menderita kekurangan gizi akut.
"Tingkat kekurangan gizi dan kematian yang lebih tinggi diantisipasi untuk tahun 2021,” kata UNICEF dalam Laporan Situasi Kemanusiaan yang diterbitkan pada bulan Februari.
Sementara, hampir semua diplomat asing dan lembaga bantuan kini telah meninggalkan Korea Utara. Peneliti senior Human Rights Watch Lina Yoon mengungkapkan kesaksian dari seorang misionaris yang bekerja di Korea Utara.
Menurut misionaris itu, ada lebih banyak pengemis, dan beberapa orang meninggal karena kelaparan di daerah perbatasan Korea Utara.